Kartini, Film Indah yang Bukan Cerita Pahlawan


Perhatian!! Spoiler kemungkinan bertebaran di seluruh bagian tulisan ini! 

Seribu tahun yang lalu gue pernah jadi juara dua lomba melukis foto Kartini sebagai bagian dari perayaan hari Kartini di sekolah. Gue ingat karena itulah satu-satunya prestasi gue di bidang seni di sepanjang umur gue hahaha. Yang menempel di kepala gue, Kartini adalah seorang perempuan berwajah khas Jawa, bulat, keibuan, dan gak terlalu cantik. Lalu muncullah Dian Sastrowardoyo yang memang berwajah khas Jawa, tapi tirus, modern, dan sangat cantik. Gue sedikit susah menggantikan bayangan Ibu Kartini dengan wajah mbak Dian. Tapi, itu cuma gue sih kayaknya hahaha. 

Secara keseluruhan, film Kartini adalah film yang sangat indah. Settingnya, gambar-gambarnya, musiknya, kostumnya, seluruh artis pendukungnya, dan Christine Hakim! Yes, she is the best part of this movie and I love her to the bone! Gue gak ngerasa dia berakting di situ. Natural banget. Dan gue baru sadar kalo ternyata Nova Eliza mirip banget sama Christine Hakim muda hahaha.

Film ini bercerita tentang kehidupan Kartini sejak masuk masa pingitan hingga akhirnya menikah. Kita bisa menyaksikan bagaimana beliau struggling dengan aturan-aturan adat yang mengikat, bagaimana beliau menyaksikan peranan kaumnya ‘dikerdilkan’ karena pernikahan, dan bagaimana perjuangannya agar ‘diakui’ keberadaannya dalam keluarga besarnya yang masih cenderung feodal. Gue bisa merasakan sulitnya jadi perempuan di masa itu. Gue juga bisa merasakan bagaimana kecewanya saat Kartini dipaksa untuk mengubur impian yang tinggal sejengkal lagi akan terwujud. Gue bahkan bisa merasakan kesedihan-kesedihan tokoh-tokoh di dalam film, seperti kesedihan Sosroningrat saat dipaksa menikah dengan putri seorang bupati demi karir yang lebih cemerlang, juga kesedihan saat Kartini kecil dilarang memanggil Ibu pada Ngasirah, ibu kandungnya sendiri, kesedihan Ngasirah saat harus merelakan suaminya menikah lagi, kesedihan Moerjam yang tahu bahwa suaminya lebih mencintai istrinya yang lain, serta kesedihan Kardinah saat harus menikah dengan seorang Patih karena ayahnya sudah terlanjur berjanji.

Ini film tentang kesedihan? Gak juga. Banyak kegembiraan-kegembiraan yang ditampilkan di film ini. Kegembiraan Kartini saat tulisan pertamanya terbit di media Belanda, kegembiraan anak-anak pengrajin ukir saat orangtuanya mendapat banyak order dari Belanda, juga kegembiraan Kartini-Kardinah-Rukmini saat mendapat kiriman buku dari Sosrokartono dan saat bermain-main dengan bebas di pantai (?)

Namun, walaupun indah dan menyenangkan untuk ditonton, menurut gue film ini bukan film tentang pahlawan. Gue gak melihat sosok pahlawan dalam diri Kartini di film ini. Ini lebih menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan ningrat dalam mendobrak batas-batas tradisi. Sejujurnya gue juga gak terlalu mengerti alasan kenapa Kartini diangkat sebagai pahlawan nasional. Tapi yang jelas alasan itu gak gue temukan dalam film ini. Kartono, Kardinah, Rukmini, bahkan Adipati Joyodiningrat punya peran yang sama dalam hal memperjuangkan hak-hak perempuan. 

Tentang Dian Sastro. Gue selalu mengagumi sosoknya yang cantik dan multi-talenta. Tapi entah kenapa, I always feel that she’s not really a good actress. Aktingnya di film ini memang lebih bagus dari AADC 1&2, tapi tetep aja rasanya gak pas. Gimana ya….agak maksa. Gak natural. Dan juga agak sedikit ketuaan untuk peran Kartini yang remaja. Bandingkan dengan Acha Septriasa dan Ayusitha yang masih tampil bak abege jaman dulu. 

Selain Christine Hakim yang jadi Ngasirah, gue suka dengan akting Djenar Maesa Ayu sebagai Moerjam. Berwajah masam dan tanpa senyum sepanjang film, rasanya dia sukses banget menampilkan sosok istri yang menikah karena terpaksa dan masih juga harus bersaing dengan selir yang lebih dicintai suaminya. Eh tau kan beliau yang mana? Yang foto pas ngerokok di depan gambar larangan merokok di Singapura itu lho hehehe. 

Oya, sebagai Javanese speaker, gue agak keganggu dengan penggunaan bahasa yang campur-campur. Pengennya sih sekalian pake bahasa Jawa semua dengan tambahan teks atau pakai bahasa Indonesia semua. Bukan campur-campur. Mana Bahasa Indonesia-nya sebagian dipaksain pake logat Jawa medok yang….maksa banget dan gak pas. 

Terakhir, kenapa gak bosen sih pake Reza Rahadian terus hahahahaha. 
Photo courtesy twitter.com/kartinifilm

3 comments

  1. berarti secara umum, ceritanya mirip sama film kartini tahun 1982 yang dibintangi salah satunya oleh Adi Kurdi, sementara yang jadi Kartini, aku lupa. sementara ibu kandungnya diperankan oleh Nanny Wijaya…

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s