Di tengah kesibukan business trip di Jepang, ada satu agenda yang sangat menarik yang selalu diadakan secara rutin yaitu cultural day. Saat business trip ke India Juli lalu agendanya bisa dibaca di sini. Kali ini di Jepang agenda cultural day adalah belajar bermeditasi di sebuah kuil di Kyoto, mengikuti acara Sado atau minum teh, lalu mengunjungi Kiyomizu-dera, sebuah kuil tua dengan pemandangan luar biasa di Kyoto.
Dari lokasi meeting di Hamamatsu, rombongan melakukan perjalanan ke Kyoto menggunakan Shinkansen. Karena gue udah rencana untuk nginep di Osaka, maka gue angkut koper gue ikut dalam perjalanan ini. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam. Supaya gak ganggu acara, maka koper dan barang-barang lain dititipkan di Kyoto Station. Di stasiun terdapat coin locker yang harga sewanya berbeda-beda tergantung dari besarnya locker. Untuk menyimpan koper seukuran cabin size gue menyewa loker seharga 700 Yen. Kalau gak punya koin, tersedia mesin penukar koin di dekat loker. Untuk ukuran koper yang sangat besar dan gak muat di dalam loker, bisa dititipkan di tempat penitipan. Harga sewanya relatif sama dengan loker dan barang bisa dititipkan hingga jam 8 malam.
Sebenarnya di Kyoto kita bisa ke mana saja menggunakan tiket bus daypass seharga 500 yen. Dengan tiket ini kita bebas naik bis ke tujuan mana saja di Kyoto selama sehari penuh. Tapi karena ini rombongan, maka perjalanan selama di Kyoto sudah diatur pake taksi. Anyway, ongkos taksi di Jepang agak mahal, lho. Jadi kalo jalan-jalan bayar sendiri mendingan naik bis atau kereta aja ya hehehe.
Tujuan pertama adalah Nanzenji Temple. Dari Kyoto Station perjalanan naik taksi ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit. Kuil yang juga dikenal dengan nama Zuiryusan ini sudah berumur lebih dari 700 tahun, namun masih berdiri dengan kokoh dan megah. Awalnya kuil ini adalah sebuah istana yang dibangun oleh kaisar Kameyama di tahun 1264. Namun baru tahun 1291 diubah fungsinya menjadi kuil Zen. Di kuil ini rombongan belajar bermeditasi. Meditasi ini disebut Zazen.
Jadi kita disuruh duduk bersila di atas bantal yang disebut zafu, dengan posisi satu kaki di atas kaki satunya. Zafu ini diletakkan di atas alas lantai yang disebut zabuton. Telapak tangan terbuka ke atas, tangan kiri diletakkan di atas tangan kanan, lalu kedua ibu jari disatukan sehingga membentuk lingkaran. Tangan dengan posisi demikian diletakkan di depan perut. Postur tubuh tetap tegak, sementara pandangan dipusatkan satu meter di depan sambil mengosongkan pikiran. Bapak Zen Master akan membunyikan bel 3 kali sebagai tanda mulai dan membunyikannya lagi 1 kali sebagai tanda berakhirnya meditasi.
Bapak Zen Master mengajarkan bahwa salah satu cara untuk mengosongkan pikiran adalah dengan terus menghitung. Jika kesulitan, dipersilakan untuk menutup mata beberapa saat lalu membukanya kembali. Dengan membiarkan pikiran kosong maka kita sudah belajar meninggalkan keterikatan kita dengan dunia dan mencoba menyatu dengan alam. Mengosongkan pikiran berbeda artinya dengan tidak sadar. Kita tetap sadar pada saat bermeditasi hanya saja untuk sementara kita membiarkan semua pikiran kita lewat begitu saja tanpa terpengaruh. Jadi tentu saja panca indera kita masih berfungsi seperti biasa namun kita memilih untuk tidak mempedulikannya.
Di sesi kedua, Pak Zen Master memberikan tawaran bantuan bagi peserta yang kesulitan untuk mengosongkan pikiran. Beliau berkeliling membawa kayu ringan yang panjang. Jika terlihat ada peserta yang tidak bisa berkonsentrasi maka beliau akan meminta peserta tersebut untuk membungkuk dan beliau akan memukul punggung peserta dengan kayu panjang sebanyak 2 kali. Demikan pula jika ada peserta yang merasa dirinya tidak bisa berkonsentrasi, peserta tersebut tinggal menangkupkan dua tangannya lalu Pak Zen Master akan mendatanginya, memintanya membungkuk dan memukul punggungnya dengan kayu panjang selama 2x. Setelah itu peserta meneruskan meditasi kembali.
Anehnya gue sendiri gak merasa kesulitan untuk konsentrasi. Pikiran terasa benar-benar kosong tapi tetap bisa merasakan apa yang terjadi di sekitar gue. Gue masih bisa mendengar punggung-punggung yang dipukul kayu, gue masih bisa merasakan bau hio yang dibakar, bahkan kaki yang kesemutan pun gak terasa mengganggu pada saat meditasi dan baru terasa sakit saat sesi meditasi berakhir hahaha.
Bapak Zen Master mengatakan bahwa meditasi ini bagus sekali dilakukan secara rutin untuk membuat pikiran lebih tenang dan terang. Mungkin mbak Dwi Estiningsih harus belajar meditasi biar pikiran lebih tenang juga ya Mbak 🙂
Setelah sesi belajar meditasi, rombongan diajak ke ruangan minum teh di belakang kuil. Taman di tempat tersebut ternyata indah sekali. Kata temen gue mirip foto-foto di kalender hahaha.
Seharusnya ada persiapan sejak teh yang masih berbentuk bubuk disiram air panas hingga disajikan. Namun karena waktu agak terbatas maka teh langsung disajikan di meja panjang bagi seluruh anggota rombongan. Japanese green tea atau yang lebih dikenal dengan matcha yang rasanya agak pahit disajikan dengan sepotong kue manis yang di dalamnya berisi kacang merah. Apalagi dinikmati dengan pemandangan taman yang indah berhiaskan momiji berwarna merah kecoklatan. Nikmat banget. Etapi sayangnya gak bisa lama-lama hahahaha. Sebenarnya yang penting bukan hanya minum tehnya, tetapi keseluruhan prosesnya termasuk estetika penyajiannya.
Oya, selama sesi meditasi kan gak boleh foto, jadi ya gak ada fotonya. Paling cuma ruangannya aja yang sempet kefoto. Di postingan berikutnya nanti gue cerita soal Kiyomizu-dera ya.
Note:
Nanzenji Temple
86 Nanzenji Fukuchicho, Sakyo-ku, Kyoto 606-8435, Kyoto Prefecture
Phone: +81-757517949
One comment