Posted by Akhir-akhir ini banyak kritikan diarahkan pada perayaan Natal dan tradisi-tradisi yang mengikutinya. Pohon Natal, Sinterklas, baju baru, tukar kado, kue-kue, dan makan-makan. Semua dikritik. Entahlah, mungkin yang mengkritik kurang piknik.
Bagi kebanyakan orang (termasuk gue), atribut-atribut Natal tersebut ngga ada hubungannya dengan urusan keimanan, tapi mereka tetap melakukannya bersama dengan semua tradisi-tradisinya. Tradisi-tradisi itu pun berbeda-beda bagi tiap orang dan tiap keluarga. Di keluarga gue dari dulu ngga ada yang namanya sinterklas dan tukar kado. Tapi selalu ada pohon Natal, bikin kue, makan enak, kumpul keluarga, dan….baju baru. That brings us a lot of happiness.
Tradisi juga bisa berubah sesuai kebutuhan. Kue Natal yang dulu bikin sendiri (dan hampir separonya habis dimakan pada saat proses pembuatan hahaha), sekarang lebih praktis kalo beli. Dulu rumah kami selalu open house di hari Natal dan didatangi keluarga, teman-teman, dan tetangga. Namun sekarang hanya keluarga saja yang datang (mengucapkan selamat Natal aja dilarang apalagi datang berkunjung yekaaaan…). Dulu berburu kartu Natal menjadi aktifitas yang menyenangkan, tapi sekarang cukup whatsapp aja (atau dalam kasus gue cukup bikin status di social media aja hahaha).
Menurut gue tradisi-tradisi Natal itu terus dilakukan karena jauh di bawah alam sadar, kita mengingat kebahagiaan-kebahagiaan yang kita rasakan pada saat melakukannya dulu. Sehingga kita cenderung mengulangnya dan bahkan meneruskannya ke anak-anak kita, terlepas ada hubungannya atau tidak dengan perayaan Natal itu sendiri.
Jadi keyword-nya adalah happiness. Orang mau bahagia kok dikritik. Selama ngga merugikan orang lain, ya biarin ajalah. Soal keimanan biarlah menjadi urusan masing-masing pribadi. Blom tentu juga yang mengkritik lebih baik imannya dari yang dikritik, kan?
Selamat Natal. Semoga kebahagiaan selalu melingkupi kita dan orang-orang yang kita sayangi. Damai di bumi, damai di hati.
My World in My Words 