Awal Agustus kemarin gue berkesempatan mengunjungi Sumatra Barat. Acara pokoknya adalah menghadiri pernikahan seorang sahabat. Sebenarnya gue males menghadiri acara-acara pernikahan seperti ini, tapi berhubung sahabat yang satu ini gak pernah bisa ditolak (ntar nyinyirnya bisa bertahan bertahun-tahun) plus godaan untuk eksplorasi makanan Padang langsung di tempat asalnya, akhirnya berangkatlah gue ke Padang. Acara pernikahan sendiri tanggal 2 dan 3 Agustus, dan gue akan ada di Padang tanggal 1 pagi sampai 4 malam. Jadi untuk menjelajah segala jenis makanan di Padang dan sekitarnya, gue punya waktu masing-masing setengah hari di tanggal 1-4. Cukup (harusnya).
Hari 1
Tanggal 1 jam 10 pagi gue dan seorang temen sudah tiba di bandara internasional Minangkabau, Padang. Kata temen gue, naik taksi aja ke hotel, gak mahal. Ternyata sampai di hotel belum bisa cek in, karena katanya di musim liburan ini cek in baru bisa jam 3 sore. Ya udah, gue titip aja tas di concierge dan berdua dengan temen gue, kita memulai acara jalan-jalan di Padang. Tujuan pertama, apalagi kalo bukan…….warung makan.
Secara official sih tujuan pertama kita adalah Museum Adityawarman di tengah kota Padang. Tapi kan udah waktunya makan. Dan liburan bukan waktunya untuk diet. Jadi, hajar bleh. Kebetulan tepat di seberang hotel ada warteg (or should I say WarDang?) yang keliatannya lumayan rame (ok, sebenarnya gara-gara udah kelaperan sih, jadinya langsung mampir di warung pertama yang kita liat :p). Asli, makanannya enak banget cuy! Gue makan sampe 3 piring! Itu juga berhenti karena diingatkan temen gue, bahwa masih baaaanyak warung makan yang menunggu jamahan kami. Ya udah, apa boleh buat, gue ‘terpaksa’ berhenti makan :p
Kemudian kami melanjutkan rencana mengunjungi Museum. Naik taksi? Gaklah, ngirit! Duitnya mending buat makan hahaha. Kami naik angkot. Angkot di Padang ini gak bernomor. Identifikasinya dilihat dari warnanya. Jadi kalo nanya naik angkot apa ke suatu tempat, penjelasannya kira-kira gini: “naik warna putih dari depan sini, trus turun di perempatan, trus lanjut naik angkot biru sampe tujuan“. Cukup gampang kan? Oya, angkot di sini sungguhlah menawan. Di dalamnya ada yang menyediakan TV layar datar, pake sunroof, dan tak lupa soundsystem yang menggelegar dengan lagu-lagu disko dangdut tahun 90an. Seru! Tapi ngebutnya gak tahan. Pengen gue toyor sopirnya.
Museum Adityawarman adalah museum yang berisi segala hal tentang adat Minangkabau. Rumah adat, perkawinan, baju adat, sejarah, dll. Gambarannya kira-kira mirip anjungan Sumatera Barat di TMII. Untuk mengunjunginya kita harus membayar karcis masuk sebesar…..dua ribu rupiah. Seperti halnya tempat-tempat wisata terkemuka di dunia, museum ini juga sering digunakan sebagai lokasi foto pre-wedding.
Puas di museum (sejam dua jam juga cukup, soalnya gak terlalu besar), kami balik ke hotel untuk cek in, bongkar-bongkar koper, dan mandi. Setelah istirahat sebentar, kami berangkat lagi ke tujuan selanjutnya. Bukan, bukan makan lagi hahaha. Kami berangkat ke Jembatan Siti Nurbaya. Oya, kali ini naik taksi, soalnya mau keliling-keliling sekalian cari makan.
Jembatan Siti Nurbaya adalah jembatan yang terbentang dari pusat kota Padang ke arah gunung Padang. Konon di atas gunung Padang itu terdapat makam Siti Nurbaya, legenda korban kawin paksa di ranah Minang yang sangat terkenal. Karena sore itu adalah hari Jumat sore, dan masih suasana liburan, jembatan terlihat sangat ramai oleh orang-orang yang nongkrong di sepanjang jembatan. Kiri kanan jembatan penuh dengan penjual pisang bakar, jagung bakar, sate Padang, dll. Mobil-mobil yang parkir sepanjang sisi jembatan membuat kemacetan mengular panjang. Tapi hal itu gak mengurangi keasyikan gue menikmati sore itu (termasuk menikmati jagung bakar, pisang bakar, dan sate padang). Pemandangan matahari terbenam di ujung sungai rasanya sungguh mengobati kelelahan hari itu.
Setelah puas, kami meninggalkan kemacetan di jembatan Siti Nurbaya dan menuju ke……mal. Yak, sebagai anak mal di Jakarta, belum afdol rasanya kalo belum mampir di mal di kota Padang ini (sebenarnya cuma mau beli kabel charger sih hahaha). Namun apa daya, mal di kota ini hanya berupa kumpulan pertokoan yang tidak terlalu besar namun cukup ramai dipenuhi pengunjung. Setelah mendapatkan yang dicari, kami langsung pulang ke hotel. Mandi, cuci muka, gosok gigi, dan……..turun lagi ke bawah, menyebrang, dan makan lagi di warung depan hotel itu. Temen gue sih yang makan, gue cuma nganterin doang :p (Katami, maap ya, tapi kan gue harus jujur hahaha).
Hari 2
Karena kelelahan, gue bangun kesiangan, dan kehilangan waktu breakfast. Padahal janjian untuk ketemu temen-temen lain di rumah penganten pria untuk mengikuti acara adat Babako. Tapi biasalah, pake acara ribet dulu siap-siap, jam 12 baru keluar hotel. Karena lapar dan cari taksi agak lama, maka kami (yak benar…) nyebrang lagi dan makan lagi di warung sebrang itu. Kenikmatannya gak berkurang juga. Setelah makan baru berangkat naik taksi ke rumah temen gue itu (yang letaknya agak jauh ke arah luar kota). Pasti gue terlambat. Tapi ternyata engga :p
Sampai di rumah temen gue itu, kami bertemu dengan dengan teman-teman lain yang sudah menunggu sejak pagi, dan si penganten (yang terus update lewat group whatsapp) belum juga datang. Apa yang pertama gue lakukan saat tiba di sana? Yak benar, makan lagi. Manalah tahan liat rendang, balado, perkedel, dan banyak makanan lain bertebaran di meja. Gue ‘terpaksa’ makan lagilah hahahaha. Dan semuanya enaaak (Bani, gue cinta mati deh sama emak lo).
Di adat mana aja, kawinan itu pasti rempong yekaaan. Nah begitu juga di sini. Rencana acara jam 12 siang, penganten datang jam…..5 sore. Gue sih telat jadi cuma nunggu 4 jam, tapi temen-temen gue ada yang nunggu sejak jam 9 pagi lho (ikut prihatin ya kamiki, katiti, Bang Topan). Dan mereka dihibur dengan musik di atas panggung yang memainkan lagu-lagu 70an dan lagu daerah Minang. Tapi entah siapa yang nyusun song list, dari awal kebanyakan lagu-lagu sedih tentang perpisahan dan patah hati (Bani, I think you should ask your money back for this group band mendayu-dayu).
Sekitar jam 5 sore rombongan penganten datang dengan extravaganza (iya, gue agak lebay aja sih). Jadi rombongan berhenti di jalan kira-kira 50 meter dari rumah, lalu disambut dengan tari-tarian dan musik khas Minang. I love the dance, the music, and the color. Warna merah dan emas bertebaran di sana sini. That was beautiful. Dan sebagai fotografer amatiran yang haus eksistensi di social media, gue tentu tak melewatkan moment ini. Setelah acara penyambutan selesai, rombongan masuk ke dalam rumah.
Di sini ada yang menarik lagi. Untuk anggota rombongan (keluarga), makan di dalam dengan duduk di tikar dan makanan disajikan di tengah. Untuk tamu-tamu lain, makanan disajikan secara prasmanan di meja di luar rumah. Gue ngintip ke dalam, dan ada satu menu yang ada di dalam tapi gak ada di luar. Kepala ikan. Rasanya pengen ngaku-ngaku jadi keluarga deh biar bisa duduk di dalam hahahaha. Acara masih tetap ada. Di luar rumah, penari-penari tadi masih menyuguhkan tari-tarian khas Minang. Dan kejutan berikutnya kembali muncul saat penari menampilkan tari piring. Sebelumnya di depan rombongan penari sudah diletakkan pecahan-pecahan piring (yang mungkin berasal dari piring-piring yang jatuh oleh penari pemula :p) di atas alas kain. Jadi di akhir tarian, satu penari maju ke depan, berdiri di atas pecahan piring itu, lalu meloncat-loncat sampai pecahan piring itu makin remuk. Gue nahan napas, takut aja kalo kakinya kegores pecahan piring. Tapi ternyata si uni penari baik-baik aja tuh. She’s the expert I think. Lalu acara selesai? What do you think? Ya nggak lah. Kami masih makan (lagi), lalu masuk ke dalam untuk foto-foto dengan penganten, baru pulang.
Pulang? Gak juga sih. Kita nebeng temen karena susah nyari taksi (makasih Bang Topan). Turunnya bukan di hotel, tapi di…..karaoke hahaha. Iya, karena mati gaya dan gak tau mau ngapain, kita berempat (gue, katami, kamiki, katiti) mampir ke karaoke. Dan full karaoke session malam itu diisi dengan tsurhat lewat lagu oleh para pesertanya hahahaha. (Katiti, duel kita lanjutkan di jakarta ya. Gue masih gak terima kalah skor dari lo :p). Setelah karaoke, kita pulang ke hotel. Dan sebelum naik ke kamar kembali kami menyeberang dan mampir di warung depan (ya ampun katami, rajin ya makannyaaaa :p)
Hari 3
Hari ini adalah hari resepsi perkawinan. Kembali gue ketiduran dan gak sempet sarapan. Tapi gak papa, toh nanti bisa kalap makan di kawinan :p Setelah mandi dan dandan (iya, buat gue pake batik dan celana kain itu udah bisa dianggap dandan), gue turun ke bawah. Kebetulan resepsi diadakan di hotel tempat kami menginap. Apa lagi yang bisa dilakukan di tempat kawinan selain makan, makan, makan, dan foto-foto yekaaaan. Setelah acara foto-foto (termasuk foto pake tongsis di pelaminan yang sudah jadi trade mark anak hipster Jakarta), gue naik ke kamar, ganti baju, trus jalan deh. Kebetulan atas bantuan temen dari Jakarta, gue akhirnya bisa mendapatkan mobil sewaan (thanks, Ari). Maklum, musim liburan gini semua mobil habis disewa tamu-tamu dari luar kota.
Bersama teman-teman lain yang akhirnya pindah ke hotel gue (karena konon di hotel sebelumnya berhantu hiiiiyy), kami berangkat ke Pantai Air Manis untuk melihat batu Malin Kundang. Dari hotel sebenarnya tidak terlalu jauh, kurang lebih sejam. Pantai Air Manis sebenarnya cukup indah, mirip dengan pantai Parang Tritis. Jadi di sisi kiri ada tebing pegunungan dan di sisi kanan ada pantai yang landai. Sayangnya, pantai ini kotor sekali. Sepertinya sampah plastik dari pasar dan perumahan yang ada di sepanjang aliran sungai yang menuju ke pantai ini terbawa sampai ke pantai. Dan ini membuat keindahannya berkurang jauh. Kami juga melihat batu Malin Kundang yang cukup melegenda itu. Ini sebenarnya tampak seperti batu biasa yang wujudnya menyerupai orang yang sedang bersujud (mungkin Uda Malin sedang bersujud minta maaf ke ibunya saat berubah jadi batu). Batu ini dipenuhi pengunjung yang berfoto di dekat batu.
Setelah puas di Pantai Air Manis, kami bergerak menuju pantai lain (lupa namanya) untuk menikmati sunset. Tapi karena senja masih lama, kami mampir dulu di sebuah warung kopi Aceh yang kami temui di jalan. Kopinya enak, tapi……..mi acehnya jauh lebih enak hahahaha. Makan melulu yak gue. Setelah selesai kami melanjutkan perjalanan ke arah pantai tadi. Tapi sayangnya karena jalanan lumayan macet, saat matahari terbenam kami masih di jalan. Karena sudah gak mungkin lagi dapat sunset, kami putar balik dan beli oleh-oleh aja. Kemana sodara-sodara? Yak benar, the famous keripik balado Christine Hakim.
Puas belanja oleh-oleh, kami melanjutkan lagi perjalanan. Eh sudah waktunya makan malam. Seperti sudah dinasehatkan oleh banyak orang di jakarta, kami harus mencoba makan di Rumah Makan Pagi Sore. Konon itu adalah restoran paling terkenal di Padang. Menu andalannya adalah ayam goreng. Dan bener aja, ayam gorengnya juara. Satu orang minimal makan 2 potong hahaha. Harganya juga normal-normal aja. Kenapa yang di Jakarta gak bisa seenak ini ya? Beda chef kayaknya sih.
Abis makan, kami melanjutkan lagi acara jalan-jalan. Kebetulan tempat makan tadi ada di kawasan pecinan di Padang. Jadi kami parkir mobil, lalu berjalan kaki menikmati suasana pecinan yang tua dan eksotis. Dari mulai rumah-rumah tua milik warga setempat yang keturunan Tionghoa, klenteng-klenteng yang berusia puluhan dan ratusan tahun, sampai berhenti menyaksikan sebuah pertunjukan musik khas tionghoa. Lagu-lagu ‘keroncong’ khas Cina yang dimainkan oleh orang-orang tua. Yang mengejutkan adalah penyanyinya. Dari suaranya kami tentu mengira beliau adalah seorang keturunan Tionghoa juga. Namun setelah kami mendekat, ternyata yang menyanyi adalah seorang uni asli Minang, berjilbab, dan masih muda! Awesome! Dan sekali lagi, sebagai fotografer amatiran yang haus eksistensi di social media, tentu obyek foto di kawasan ini sungguh memuaskan dahaga.
Menjelang tengah malam kami pulang ke hotel. Harus tidur cepat, karena besok pagi-pagi sekali sudah harus berangkat ke Bukit Tinggi karena takut kena macet. Eh, kenyataannya, baru pada tidur menjelang jam 3 pagi karena sibuk mendengarkan ‘wejangan’ dari kamiki :p (Oya, hari ini gak ada acara makan di warung sebrang hahaha).
Hari 4
Hari ini adalah hari terakhir di Padang. Flight kami adalah jam 18.25 malam, sehingga jam 5.30 paling lambat sudah harus tiba di bandara. Pengaturan jawal adalah sbb: jam 5 pagi berangkat ke Bukit Tinggi, jam 12 siang dari Bukit Tinggi sudah harus kembali ke Padang dengan memutar lewat Danau Maninjau. Everything sounds good. Tapi, berangkatnya aja udah molor hampir jam 6 pagi hahaha.
Sebenarnya kenapa harus berangkat pagi sih? Jadi konon di daerah Kotogadang tiap hari Senin ada yang namanya hari pasar. Jadi biasanya barang dagangan dan pembeli tumpah ruah ke jalanan. Ini mengakibatkan macet panjang. Padang-Bukit Tinggi yang biasanya hanya 2 jam, bisa molor sampai 5-6 jam. Apalagi di musim liburan Lebaran seperti saat itu. Namun kenyataannya kami berangkat jam 6 pagi, tiba di Bukit Tinggi jam 8. Dan langsung ke Jam Gadang.
You know what? It was amazing. Bangunan yang biasanya cuma ada di brosur wisata dan (kadang-kadang) kalender, sekarang ada di depan gue. Bangunannya gak terlalu besar, but it looks exactly same with the one I saw in the pictures. Even the blue sky. Penunjukan waktunya masih akurat, lingkungan sekitarnya bersih, dan hawanya masih sejuk. I really enjoyed being there. Tapi…..perut udah laper. Eh di sebelah jam gadang ada Pasar Atas. Gue masuk ke salah satu warung makan dan memesan soto Padang. Gue berprasangka baik dan berpikir bahwa makanan di dalam pasar pasti enak karena masakan rumahan dan pasti memiliki rasa original Bukit Tinggi. Tapi gue kecewa. Di Pasar Atas itulah satu-satunya makanan yang mengecewakan selama gue ada di Sumatera Barat. Rasanya hambar, sehambar hati gue yang pagi-pagi udah ditelepon temen dari kantor hahaha. Tapi dimaafkan. Mungkin si Uni yang jual baru bangun jadi lupa ngasi takaran bumbu :p
Setelah puas berfoto-foto, kami beranjak ke obyek wisata lain, yaitu Goa Jepang. Goa ini dibangun di masa perang kemerdekaan di dalam perut bukit. Di dalamnya dibagi ruangan-ruangan seperti ruang meeting, ruang logistik, ruang senjata, dll. Suasana di dalamnya dingin, lembab, dan gelap. Saat masuk ke dalam salah satu ruang gue tiba-tiba mendapat perasaan gak enak. Entah kenapa. Gak mau ambil resiko, gue ngajak temen gue buru-buru jalan keluar goa. Sampai di luar rasanya lega ketemu sinar matahari lagi hehehehe.
Di luar, kami menunggu pak sopir menjemput (karena pintu masuk dan pintu keluar goa jaraknya agak jauh). Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Ngarai Sianok daaaaaan…..berburu Gulai Itiak Lado Mudo. One of legendary food from Bukit Tinggi. You know what, nongkrong di warung di tepi Ngarai Sianok, makan gulai itiak lado mudo dan rendang dan dendeng dan sayur daun singkong dan nasi 3 piring, semilir angin pegunungan menembus dinding warung yang terbuka, rasanya gak pengen pulang ke Jakarta. Tapi…..udah jam 1 siang! Telat! Harus buru-buru balik ke Padang. Di jalan pak sopir menyatakan kekhawatirannya untuk lewat Danau Maninjau. Beliau takut gak sempet ngejar jam 5.30 di bandara, karena ke Danau Maninjau arahnya agak memutar. Akhirnya kami langsung mengarah kembali ke Padang. Di jalan, tibatiba dapat pemberitahuan bahwa schedule keberangkatan diundur sampai jam 9. Sialnya, untuk memutar kembali ke Danau Maninjau sudah terlalu jauh, tapi kalau langsung ke bandara juga terlalu awal nyampenya. Ya udah akhirnya gue minta berhenti sebentar di air terjun Lembah Anai.
Air terjun ini sebenarnya sudah kami lewati pagi tadi, tapi berhubung ketiduran selama perjalanan, jadinya gak tau hahaha. Air terjun Lembah Anai ini terletak di pinggir jalan raya. Jadi kami parkir di deretan warung-warung (kepala gue isinya udah makanan aja hahaha), lalu jalan kaki ke air terjunnya. Tiketnya cuma bayar 2000 rupiah. Pengunjung cukup ramai untuk ukuran hari Senin siang. Ada yang sampai berenang di danau kecilnya segala. Gue? Cukup berdiri di pinggir dan hunting foto. Setelah puas, gue ke warung dan ngopi sambil nunggu pak sopir yang menghilang entah ke mana.
Setelah pak sopir kembali, dia mengusulkan untuk berburu sunset ke pantai Padang. Akhirnya kami berangkat lagi menuju Padang. Dia membawa kami ke pantai di dekat tempat tinggalnya. Jadi daerah itu namanya Pasir Nan Tigo. Kampungnya ada 3, Pasir Benteng, Pasir Kandang, dan Pasir Jambak. Yang terkenal itu Pasir Jambak. Namun dia membawa kami ke Pasir Benteng, kampungnya.
Kampungnya itu terletak di muara sungai. Muaro Penjalinan namanya. Muara itu tersambung langsung ke pantai di Pasir Benteng. Pantainya sepi tapi bagus. Masih ada nelayan dan kapalnya, masih ada anak-anak bermain bola, masih ada orang pacaran. Di tengah laut terlihat sebuah pulau kecil. Konon pulau itu ada yang punya. Seminggu sekali si empunya pulau menginap di sana. Saat pulang ke Padang, dia biasanya membawa ikan hasil tangkapannya di sekitar pulaunya itu, dan dijual di pasar.
Saat sunset datang, it was sooo beautiful. Siluet nelayan dan anak-anak yang bermain bola dibingkai dengan garis langit berwarna kuning keemasan sungguh menenangkan jiwa. Lupa kalo harus pulang ke Jakarta. Setelah langit mulai gelap, kami berangkat ke bandara.
Tiba di bandara, ada pengumuman tambahan bahwa jadwal keberangkatan pesawat kembali diundur dan penumpang dipersilakan mengambil makan malam (nasi kotak). Gue lupa cerita, di hari pertama saat perjalanan dari jembatan Siti Nurbaya ke mal, kami melewati sebuah restoran yang namanya Lamun Ombak. Restorannya ramai sekali, dan parkiran mobilnya melebar sampai ke jalan. Waktu itu gue bilang ke temen gue kalo gue harus nyoba makan di situ. Penasaran kenapa kok rame banget, pasti enak. Eh saat jatah makanan dibagikan, ternyata kotaknya bertuliskan ‘Lamun Ombak’. My wish come true. Makanannya enak. Sayang lauknya cuman rendang satu biji hahahaha.
Menjelan jam 11 malam penumpang dipersilakan naik ke pesawat dan pesawat siap untuk berangkat. See you, Ranah Minang. Thanks for spoiling me with the best culinary in the country. I’ll come back one day.
Biar BangBen ngerasa sedikit menang dari aku dan Kamiki…. aku mau bilang: “ih, gw ngiri sama sunset di Muaro Penjalinan!” Hih! π
LikeLike
Katiti, gue gak peduli sunset. Gue tetep ngiri sama acara ngopi di tepi danau Maninjau ituh. Huh
LikeLike
tapi emang benerrr feeling ga enak pas ke goa jepang! anyway soto padang sama lontong sayur padang itu juara sih π *meskipun pernahnya nyobain yang di bukittinggi* π
LikeLike
Wahh.. Sayang sekali gak jadi ke Maninjau ya…
Salam kenal, saya asli orang Maninjau. Baru 1 tahun di Jakarta. Kalau kembali ke Sumbar, jangan sampe nggak ke Maninjau ya… :p
Di sana ada yang namanya Puncak Lawang. Sebuah puncak bukit (1200 mdpl) di mana panorama seluruh danau yang berbentuk mirip kuali raksasa dapat terlihat jelas. Di sana juga dijadikan spot Paralayang, yang kabarnya salah satu spot terbaik di Asia, dengan anginnya yang naik dari permukaan danau menuju bukit.
Kalau ke kawasan pinggir danau, jangan lupa singgah di RM Pagi Sore, Pasar Maninjau dengan menu-menu khas ikan danau.
Di daerah Gasang banyak yang berjualan berbagai macam jajanan khas Maninjau. Yang jadi primadona yaitu Palai/Pepes Rinuak & Peyek Rinuak (Rinuak adalah ikan yang hanya ada di Danau Maninjau. Ukurannya lebih kecil dari teri medan). Terus juga ada Pensi (kerang khas Maninjau berukuran sebesar kuku, yang dimasak dengan bumbu dan sedikit air)
LikeLike
Thanks buat informasinya ya. I will be back! π
LikeLike