Akhir bulan Maret yang lalu saya ditugaskan untuk mengikuti training dan meeting untuk persiapan system baru, yang diadakan di Stuttgart, Jerman. Training diadakan pada tanggal 1-3 April, yang jatuh pada hari Selasa-Kamis. Artinya, saya berangkat hari Minggu, 30 Maret, agar tiba di Stuttgart hari Senin, 31 Maret. Pulangnya hari Jumat, 4 April dan tiba di Jakarta hari Sabtu, 5 April. Artinya saya akan masuk kantor hari Senin, 7 April. Karena kebetulan ke Eropa, saya coba mempertimbangkan untuk sekalian memperpanjang tinggal di Eropa dan mengunjungi beberapa tempat sekaligus.
Pertimbangan saya adalah:
1. Tiket toh tetap akan dibayar kantor, jadi kalaupun saya extend, tetap tidak akan merugikan kantor dan saya tidak rugi.
2. Tgl 31 Maret adalah hari libur Nyepi. Karena saya tgl 31 Maret sudah di Jerman, artinya saya dianggap sudah bekerja, dan berhak untuk mendapatkan ganti satu hari libur. Sementara tgl 9 April juga libur Pemilu. Artinya kalau saya tiba di Jakarta tgl 9 April dan masuk kantor tgl 10 April, saya hanya mengajukan cuti 1 hari saja. Artinya saya bisa extend dari tgl 4-8 April. Lumayan kan?
3. Salah satu kota yang paling ingin saya kunjungi adalah Paris. Dan Paris hanya sejauh 3,5 jam naik kereta dari Stuttgart. This is a good reason, right?
4. Saya membawa laptop, dan sebagian besar hotel sekarang sudah memiliki jaringan wifi di kamar, jadi kalau malam saya bisa bekerja.
Setelah medapat ijin dari atasan, saya mempersiapkan segala sesuatunya. Yang pertama tentu saja visa. Agak sulit memang, karena undangan training ini cukup mendadak, sementara pengurusan visa di kedutaan Jerman membutuhkan waktu banyak untuk pendaftaran appointment. Saya dapat jadwal hari Rabu, 26 Maret, padahal hari Minggu saya berangkat. Rasanya agak riskan jika melalui kedutaan Jerman. Maka saya mencoba mendaftar melakui kedutaan Perancis. Kebetulan sekali ada yang cancel appointment, sehingga berkas saya bisa langsung masuk. Akhirnya saya mendapat visa Schengen dari kedutaan Perancis.
Untuk tiket, oleh travel coordinator di kantor saya dibelikan tiket Jakarta-Paris dan dilanjutkan dengan kereta api Paris-Stuttgart. Begitu pula kembalinya. Untuk hotel di Stuttgart sudah ditentukan oleh perusahaan. Sementara hotel di Paris sudah saya pesan online.
Beberapa hari sebelum berangkat, saya berubah pikiran. Rasanya terlalu lama untuk tinggal 4 malam di Paris saja. Akhirnya saya mencoba mencari alternatif lain. Yang terpikir pertama tentu adalah Venesia. Namun karena pertimbangan jarak, Amsterdam atau Barcelona juga jadi pilihan, kira-kira masih terjangkau dengan kereta. Namun saat browsing tiket kereta, ternyata harganya cukup mahal. Padahal setelah saya cek harga tiket pesawat ke Venesia, hanya terpaut sekitar 500 ribu rupiah. Namun untuk mendapatkan tiket dengan harga tersebut, saya harus beli tiket PP. Sayangnya jadwal kembalinya ke Paris tidak cocok dengan jam penerbangan saya kembali ke Jakarta. Saya kembali melakukan pengecekan tiket, dan ternyata dengan harga sama saya bisa mendapatkan tiket Paris-Roma dengan jadwal yang cocok dengan jam penerbangan saya ke Jakarta. Akhirnya saya putuskan untuk tinggal 2 malam di Paris dan 2 malam di Roma. Pesanan hotel akhirnya saya perbaharui. Jadi saya akan menempuh perjalanan panjang dari Jakarta-Dubai-Paris-Stuttgart-Paris-Roma-Paris-Dubai-Jakarta. I’m ready!
Pada bagian pertama ini saya akan menceritakan pengalaman saya di Stuttgart, lalu pada bagian kedua nanti Paris, dan terakhir adalah Roma.
Stuttgart
Perjalanan saya ke Stuttgart cukup panjang. 8 jam dari Jakarta ke Dubai, transit 6 jam, 5 jam ke Paris, transit 3 jam, lalu lanjut naik kereta 4 jam ke Stuttgart. Sekitar 26 jam hingga tiba di hotel.
Seperti biasa, hampir tidak ada kesulitan dalam perjalanan karena sebelumnya saya sudah mencari tahu segala informasi yang saya perlukan di internet, termasuk angkutan umum dan lokasi hotel.
Yang agak ribet memang karena saya menggunakan kereta dari Paris ke Stuttgart. Dari CDG airport, saya harus naik RER B dulu ke Gare du Nord (stasiun Utara). Harga tiketnya 9.75 Eur. Oya, di airport tersedia peta kota Paris termasuk tempat-tempat wisata dan peta trasnportasi umum seperti bus dan metro. Pada saat di airport ada seorang petugas airport yang memberi informasi yang diperlukan dan di akhir kalimat dia berkata “I dont mean to make you afraid but there will be strike today, so you better hurry”. Jadi saya buru-buru berjalan ke stasiun (yang juga terintegrasi dengan airport) dan membeli tiket. Eh pada saat mau masuk ke dalam peron, tiba-tiba ada mbak-mbak yang nebeng ikut masuk stasiun karena dia gak beli tiket. Jadi buka pintunya pakai tiket saya, lalu dia ikutan masuk.
Dari airport ke Gare du Nord kira-kira 20 menit. Kereta yang akan saya naiki berangkat dari Gare du Est (stasiun Timur) yang jaraknya kira-kira 5 menit berjalan kak dari Gare du Nord. Karena waktu keberangkatan masih cukup lama, saya mampir di sebuah restoran kecil untuk makan siang. Jangan kaget, harga makanan dan minuman di Paris memang cukup mahal, jadi saya memesan yang termurah tanpa minuman (karena saya sudah membawa air mineral yang saya beli sebelumnya di sebuah vending machine di stasiun). Setelah makan, saya berjalan lai ke stasiun. Sekitar 2 jam kemudian kereta tiba dan penumpang dipersilakan masuk ke dalam kereta. Tepat pada waktunya, kereta diberangkatkan.
Jalur yang kami tempuh adalah Paris Est-Strasbourg-Karlsruhe-Stuttgart-Ulm-Augsburg-Muenchen. Jadi kereta hanya berhenti 3 kali sampai di Stuttgart. Keretanya merupakan kereta cepat dan ada dua lantai untuk kabin penumpang. Tempat duduk cukup lebar sehingga nyaman bagi penumpang. Sepanjang perjalanan hanya sekali dilakukan pemeriksaan tiket.
Sepanjang perjalanan, pemandangan di luar kereta mirip di film-film yang pernah saya tonton. Ada rumah-rumah tua khas Eropa, tanah pertanian lengkap dengan kincir angin, sungai yang bersih dan bisa dilalui perahu-perahu kecil, perkampungan kecil yang berisi rumah-rumah cantik berhalaman luas dengan gereja tua di tengah kampung, truk-truk pengangkut hasil pertanian, kastil dan istana di pinggur danau, dan banyak hal yang biasanya hanya saya saksikan di layar lebar. Kelelahan saya hampir tidak terasa karena saya sungguh menikmati perjalanan tersebut.
Tiba di Stuttgart sudah hampir jam 8 malam, namun langit belum terlihat gelap. Saya memutuskan untuk makan malam dahulu di stasiun sebelum meneruskan perjalanan ke hotel dengan naik metro. Setelah makan saya berjalan ke arah stasiun metro yang juga terintegrasi dengan stasiun kereta antar kota. Saya membeli tiket di mesin tiket lalu menunggu sekitar 5 menit sebelum metroline saya datang. Perjalanan ke hotel kira-kira 10 menit. Kebetulan hotel saya juga terletak tepat di sebelah stasiun metro. Sekitar jam 9 malam saya tiba di hotel. Dan baru saya merasakan kelelahan yang luar biasa. Saya langsung tertidur tanpa sempat mandi dan membongkar koper.
Hotel di Jerman termasuk mahal. Perbandingannya, dengan harga yang sama, di Indonesia saya bisa mendapatkan kamar di sebuah hotel berbintang yang cukup besar dengan fasilitas mewah. Sementara di sini saya mendapatkan kamar yang ukurannya lebih kecil dari kamar kos dengan fasilitas minimalis. But I love the breakfast tho. Dan kecepatan internetnya, juara!
Paginya setelah sarapan saya berangkat ke tempat training yang jaraknya kira-kira 10-15 menit dengan berjalan kaki. Kota Stuttgart tidak terasa terlalu ramai. Kendaraan lalu lalang di jalanan tapi tidak memenuhi jalanan. Justru pejalan kaki yang terlihat lebih ramai di pagi hari. Orang-orang memang lebih memilih berjalan kaki atau menggunakan tranportasi umum seperti metro atau bis. Taksi juga tidak terlalu banyak di sini. Konon tarifnya mahal sekali.
Dari segi populasi, Stuttgart adalah kota berpenduduk terbesar ke 6 di Jerman. Kepadatan populasi yang hanya sekitar 3 ribu orang per km2 membuat kota terasa lengang. Bandingkan dengan kepadatan Jakarta yang mencapai 15 ribu orang per km2. Di sini orang-orangnya ramah, mau membantu bila ditanya, dan sering menyapa dengan senyum. Bahkan sekali saat saya terlihat kebingungan membeli tiket metro, seorang Ibu menegur saya, memberitahukan dimana mesin tiketnya, sampai menunggui saya hingga tiket berhasil keluar dari mesin. Bahkan dia memaksa mengantar saya sampai ke jalur kereta.
Di bulan-bulan menjelang musim semi biasanya cuaca cerah sekali. Matahari sudah terlihat, namun masih terasa dingin. Suhu berkisar 10-15 derajat Celcius. Perjalanan ke tempat kerja saya lakukan dengan lambat sambil menikmati suasana pagi di kota ini. Bangunan-bangunan tua di sepanjang jalan terlihat terawat dengan baik. Dan walaupun dekat dengan kawasan industri namun udara terasa segar. Pohon-pohon terlihat memenuhi halaman rumah dan pinggiran jalan. Kota ini memang terasa nyaman untuk ditinggali.
Training berlangsung 3 hari, dimulai jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Makan siang dilakukan di kantin kantor. Karena masih training dan takut perut bermasalah, saya pilih menu ‘aman’ saja. Chicken steak, kentang goreng, green salad, air mineral. Di training ini saya benar-benar merasakan pergaulan ‘multicultural‘. Peserta training berasal dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea, Jerman, Brazil, Afrika Selatan, Mexico, dan Turki. Banyak kebiasaan-kebiasaan yang berbeda di dalam dan di luar training. Di sini kami belajar untuk saling memahami kebiasaan masing-masing dan beradaptasi dengan baik.
Sorenya setelah training bersama sekelompok teman saya pergi ke city center. Kebetulan salah seorang teman di Malaysia yang kebetulan orang Jerman sengaja menyewa mobil. Jadi kami berlima – saya, satu pria Malaysia, satu pria Jerman, satu wanita Afrika Selatan, satu wanita Mexico – pergi ke pusat kota untuk melihat-lihat suasana Stuttgart di sore hari sambil menunggu waktu makan malam. Di awal April biasanya matahari tenggelam lebih lama, sehingga langit masih terang hingga menjelang pukul 8 malam. Kami menuju ke Stuttgart City Center yang merupakan tempat berkumpulnya anak-anak muda dan turis di Stuttgart. Tempatnya ada di seberang central station, tempat dimana pertama kali saya menginjakkan kaki di Jerman kemarin.
Daerah tempat hang-out ini namanya Königstrasse (King’s Street). Tempat ini berupa sebuah pedestrian panjang, di mana terdapat pertokoan dan restoran di kanan kiri. Di tengah jalur pedestrian terdapat tempat duduk, air mancur, taman, yang nyaman untuk bersantai sepulang kerja. Jika kita terus menyusuri pedestrian, kita akan menjumpai sebuah lapangan rumput besar mirip alun-alun, dengan sebuah tugu di tengahnya, dan sebuah bangunan tua mirip istana. Alun-alun ini namanya Schlossplatz. Bangunan tua tersebut dulunya adalah sebuah istana seorang bangsawan Jerman. Yang unik, di tengah ‘alun-alun’ banyak orang duduk-duduk bersantai menikmati suasana matahari tenggelam bersama pasangan atau teman-teman sambil minum bir atau kopi. Tempat ini sangat menyenangkan.
Namun saya tidak bisa berlama-lama di sini, karena…..mau belanja hahaha. Maklum, ada titipan kaos bola dan beberapa souvenir dari teman-teman kantor. Dan kebetulan toko-toko dan restoran di daerah ini tutup sebelum jam 9 malam. Jadi memang waktunya tidak terlalu banyak, sementara kami masih harus makan malam sebelum restoran tutup, dan kembali ke hotel. Setelah belanja, kami pindah ke daerah lain yang tidak terlalu jauh untuk makan malam di sebuah restoran Italia, lalu sekitar jam 9.30 kami kembali ke hotel.
Hari kedua, setelah training kami diundang makan malam bersama oleh pihak kantor. Makan malamnya sih bersama, tapi bayarnya tetap masing-masing hahaha. Lokasinya di sekitar kantor, kira-kira 20 menit jalan kaki. Tempat makan kami adalah sebuah restoran Italia (lagi), yang berada di deretan gedung-gedung tua yang indah. Sebenarnya suasananya sangat menyenangkan untuk makan di sisi teras restoran. Namun berhubung sore itu dingin sekali kami akhirnya terpaksa makan di dalam. Ada yang lucu saat makan malam tersebut. Karena pesertanya cukup banyak, maka meja makan diatur menjadi dua deret. Dan tanpa direncanakan rombongan terpecah dua. Di satu deret duduk orang-orang Asia, dan di sisi lainnya duduk orang-orang non Asia. Saat sadar, kami yang rombongan Asia tertawa terbahak-bahak. Ternyata perasaan inferior bangsa Asia tetap tidak bisa hilang. Oya, karena saya bawa cukup banyak sambal sachet, saat makan saya keluarkan dan saya tawarkan ke teman-teman. Yang berani mencoba hanya orang Malaysia dan Korea. Itu pun mereka bilang terlalu pedas hahaha.
Hari ketiga, training selesai lebih awal, sekitar jam 2 sore, karena ada beberapa peserta yang harus pulang malam itu juga. Kebetulan sedang terjadi demo karyawan salah satu perusahaan penerbangan Jerman, sehingga beberapa jadwal terpaksa diubah. Karena ‘gank’ saya di hari pertama itu sudah siap-siap untuk pulang, maka saya mencari ‘gank’ lain untuk jalan-jalan. Jadi saya bersama dua teman wanita dari Thailand janjian untuk pulang dulu ke hotel dan sekitar jam 3 sore keluar lagi untuk jalan-jalan. Tujuannya, kemana lagi kalau bukan ke Königstrasse. Namun kali ini kami naik metro.
Di dalam kereta kami mengobrol panjang. Saya mengatakan bahwa saya sebenarnya ingin ke museum Mercedes Benz atau ke museum Porsche. Namun sayang tidak ada waktu karena besok paginya saya sudah harus berangkat ke Paris. Teman-teman saya itu ternyata juga punya keinginan yang sama namun mereka masih punya satu hari lagi di Stuttgart. Jadi masih sempat. Namun teman saya yang satu mengatakan bahwa museum biasanya tutup agak malam. Jadi saat tiba di Königstrasse, kami langsung ke pusat informasi turis dan ternyata benar, museum tutup jam 6 sore, namun loket tiket dibuka hanya sampai jam 5. Jadi kami buru-buru mengambil peta turis kota Stuttgart dan langsung menuju metro yang menuju ke museum. Namun kami harus memilih salah satu. Akhirnya karena waktu terbatas, kami memutuskan ke museum Benz yang lebih dekat. Museum Benz hanya sekitar 4 stasiun dari central station. Namun dari stasiun kami masih harus berjalan kaki sekitar 15 menit. Tiba di museum jam 5 kurang seperempat, jadi masih sempat membeli tiket.
Museum Benz ini berada di kawasan pinggiran kota Stuttgart, dimana juga terdapat stadion Benz. Harga tiketnya 4 Euro. Museum terdiri dari 8 lantai. Dari lobby, pengunjung akan naik lift ke lantai paling atas, lalu turun dengan berjalan kaki lantai demi lantai. Desain interior bangunan memang dibuat ‘double helix’ untuk memaksimalkan ruang pamer. Lantai paling atas adalah periode awal perkembangan mesin Mercedes. Makin ke bawah makin baru. Dengan mengikuti lantai demi lantai, kita dibawa berkelana dari masa-masa awal industri otomotif di Jerman hingga ke masa depan dimana Mercedes selalu berperan besar di dalamnya.
Tanpa terasa satu jam sudah berlalu dan kami harus keluar karena museum sudah tutup. Di depan museum kami masih sempat berfoto, sebelum kembali ke Königstrasse.
Di Königstrasse, saya mencoba menikmati malam terakhir di Jerman sebelum berangkat ke Paris besok paginya. Kebetulan jam 7 masih terang jadi suasana masih menyenangkan untuk jalan-jalan walaupun rasanya cukup dingin. Akhirnya saya merasakan juga nongkrong santai di lapangan Schlossplatz sambil minum bir dan mengobrol dengan teman-teman. Lalu masih sempat juga untuk berkeliling melihat kastil dan bangunan-bangunan tua di sekitarnya. Dan akhirnya kesampaian juga makan pork knuckle di salah satu restoran di daerah itu. Rasanya cukup enak, namun porsinya besar sekali. Bahkan terlalu besar untuk saya. Di situ saya juga merasakan minum Apfelschorle, yaitu jus apel khas Jerman yang dicampur dengan sparkling water. Rasanya enak. Mirip bir rasa buah, tapi tanpa alkohol. Oya, di Jerman kalau mau pesan air mineral, harus dijelaskan mau air mineral yang plain atau air mineral yang sparkling. Kalau hanya bilang air mineral, maka akan diberi sparkling water. Dan satu lagi, harga alkohol dan harga air mineral lebih murah harga alkohol. Entah kenapa hahaha. Kira-kira jam 9 malam kami kembali ke hotel.
Pagi-pagi saya berangkat ke central station untuk meninggalkan Stuttgart menuju Paris. Jika saat dalam perjalanan dari Paris ke Stuttgart saya naik kereta di lantai bawah, maka kali ini saya naik kereta di lantai atas. Dan ternyata sama nyamannya.
So, see you again, Stuttgart. One day we’ll meet again. One day I’ll stay longer.
Pengalamannya berguna buat saya bro.. Many thanks yah.. Sedikit banyak saya punya informasi tambahan.. Cheers
LikeLike
Sama-sama….
LikeLike
Boleh share naik kereta apa ke parisnya.. kebetulan saya sedang cari informasi kereta dari paris ke stuttgart …
LikeLike
Naik TGV waktu itu mbak. Berangkat dari gare du nord kalo gak salah
LikeLike
Boleh Share kereta apa dari paris ke stuttgart dan di terminal mana naiknya . salam
LikeLike
Naik CGV dari Est du Nord kalo gak salah
LikeLike