Melanjutkan Hidup


Melanjutkan Hidup
(written: Friday, September 13, 2013)

20130915-181655.jpg

Namaku Dadi. Umurku…entah sudah berapa umurku. Aku tak pernah mengingat-ingatnya lagi. Buat apa, toh tidak ada yang akan mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Untuk bersyukur? Ah sudahlah, bersyukur seharusnya tidak hanya dilakukan tiap ulang tahun. Bagiku bersyukur bisa dilakukan tiap hari. Saat aku bisa mendapat beberapa ribu rupiah untuk bertahan hidup tiap hari, itu sudah cukup untuk membuatku bersyukur.

Aku memang mencari makan dengan menambal ban. Tapi bukan berarti aku berdoa agar tiap hari ada kendaraan yang mengalami bocor ban sehingga aku bisa mendapat uang. Tidak sama sekali. Aku tidak mencari nafkah di atas penderitaan orang lain. Seperti halnya dokter yang juga tak pernah berdoa agar tiap hari ada orang sakit.

Orang bilang menambal ban hanya bermodalkan tenaga. Yah, memang tidak salah. Tapi juga tidak sepenuhnya benar. Menambal ban memerlukan sedikit keahlian. Bagaimana menemukan kebocoran – apalagi bocor halus – tidak semudah yang dibayangkan orang. Lalu aku juga harus memiliki kompresor udara untuk memompa ban, beberapa peralatan penting, dongkrak (kadang-kadang ada saja orang yang tidak membawa dongkrak di mobilnya), dan yang paling penting adalah ember berisi air. Jadi kata siapa hanya bermodalkan tenaga.

Pasti kalian bertanya darimana aku mendapatkan modal untuk membeli barang-barang tadi, terutama kompresor yang pasti tidak murah. Kompresor itu kubeli beberapa tahun lalu dengan sisa uang pesangon dari tempatku bekerja dulu. Untuk perusahaan kecil, uang pensiun tentu tidaklah seberapa. Dalam hitungan bulan saja sudah habis hampir setengahnya. Untunglah aku sempat sadar dan menggunakan sisanya untuk membeli peralatan tambal ban tadi.

Penasaran dengan keluargaku? Sejujurnya, aku juga penasaran. Setahun sebelum aku pensiun, istriku minta ijin pulang kampung. Katanya dia ingin mempersiapkan kepindahan kami selepas aku pensiun. Kami memang ingin tinggal di kampung saja. Toh kami tidak memiliki anak, jadi tidak perlu repot-repot mencari sekolah bagus di kota. Aku masih ingat saat itu menjelang akhir tahun. Beberapa hari kemudian aku mendengar kabar tsunami besar di kampungku. Ratusan ribu orang meninggal dan hilang. Aku mencoba mengontak istriku disana. Namun tak ada jawaban juga. Demikian pula keluargaku. Lalu aku mengambil ijin dari kantor untuk pulang kampung dan mencari tahu nasib istri dan keluargaku. Dan seperti kalian duga, sebagian besar keluargaku menjadi korban tsunami tersebut. Termasuk istriku. Namun jasadnya tak pernah ditemukan. Hilang begitu saja. Aku terpaksa harus menerima nasib kehilangan istri yang kucintai.

Cerita berakhir disitu? Tentu tidak. Yang membuatku penasaran, keluargaku yang tersisa mengatakan bahwa tak satupun dari mereka yang merasa pernah bertemu istriku di kampung. Bahkan mereka kaget saat melihatku datang ke kampung tanpa membawa istri dan malah mencari-carinya di antara korban tsunami. Uang tabungan kami selama bertahun-tahun, yang dibawa istriku ke kampung untuk membeli tanah dan rumah untuk tempat tinggal kami di masa tua, ikut lenyap entah kemana. Itulah yang membuatku hanya memiliki sedikit uang pesangon saat akhirnya pensiun. Aku terus berusaha mencarinya.

Saat aku pensiun akhirnya aku menyerah dan mengikhlaskannya. Mungkin memang benar istriku ikut jadi korban tsunami. Karena nyaris kehabisan uang tak punya penghasilan lain, dua tahun setelah pensiun aku memilih menjadi tukang tambal ban. Keinginanku untuk pulang kampung sudah lenyap bersama lenyapnya istriku. Aku sekarang ingin menghabiskan sisa hidupku di kota ini saja. Dengan membayar sejumlah uang keamanan akupun mendapatkan tempat yang cukup strategis di depan sebuah kompleks perumahan di pinggiran kota.

Beberapa bulan lalu sebuah mobil lewat dan tanpa sengaja aku memandang ke arah kaca jendela mobil yang terbuka. Sedetik dunia terasa membeku saat pengemudinya melihat ke arahku. Aku tak pernah melupakan wajah itu. Wajah yang selalu kubayangkan sebelum tidur selama bertahun-tahun. Wajah istriku. Namun detik berikutnya terasa kenyataan menampar dengan kerasnya. Tak mungkin, karena istriku telah hilang ditelan tsunami bertahun-tahun yang lalu. Namun tak dapat kuhindari berbagai macam pikiran berkecamuk dalam hatiku sejak hari itu.

Karena mobil itu masuk ke dalam kompleks perumahan di depan bengkel tambal banku, aku semakin berharap akan melihat wanita itu lagi. Beberapa kali mobil itu lewat namun kacanya selalu tertutup. Sampai suatu hari mobil yang sama lewat lagi. Yang mengemudi adalah seorang laki-laki setengah baya dan di sebelahnya duduk seorang wanita. Ketika kaca terbuka dan tanpa sengaja aku dan wanita itu saling bertatapan, aku bersumpah bahwa aku melihat sedikit ekspresi terkejut di wajahnya. Hanya sedikit karena kaca langsung tertutup. Namun dalam waktu yang sesaat itu aku yakin bahwa wanita itu adalah istriku. Entah bagaimana ceritanya sampai dia ada di dalam mobil itu, tapi aku yakin itu istriku.

Semakin aku memikirkannya, semakin bingung rasanya. Berbagai kemungkinan beterbangan dalam kepalaku. Namun anehnya mobil itu tak pernah lagi lewat. Karena tak tahan aku bertanya pada satpam penjaga kompleks perumahan itu tentang pria dan wanita dalam mobil itu. Jawabannya sungguh membuatku makin tak tenang.

Laki-laki itu adalah pejabat tinggi di sebuah bank ternama di kota ini. Istrinya sudah lama meninggal dunia dan dia baru saja menikah lagi setahun yang lalu. Anaknya hanya dua dan semua melanjutkan kuliah di luar negeri. Seminggu yang lalu mereka pindah ke Yogya karena sang suami sudah pensiun dan ingin menghabiskan masa tuanya di kota kelahirannya bersama istri barunya.

Kembali teori-teori memenuhi rongga kepalaku. Namun tak satupun yang bisa menjelaskan mengapa istriku – jika itu memang benar istriku – bisa meninggalkanku dan menikah dengan laki-laki lain. Umur kami memang terpaut cukup jauh, hampir 15 tahun. Namun setahuku dia bahagia bersamaku. Memang tidak mewah, namun aku memenuhi hampir semua kebutuhannya. Dan jika memang dia tak bahagia, mengapa dia tak pernah mengeluh, mengapa dia justru meninggalkanku dengan membawa seluruh tabungan kami, mengapa tak pernah memberi kabar, dan mengapa-mengapa lain yang tak pernah terjawab.

Ya, tak pernah terjawab. Karena aku terlalu takut untuk mencari jawabannya. Aku tak pernah punya setitik keberanian untuk menyusul mereka ke Yogya untuk sekedar bertanya. Dan yang paling penting, jika memang dia benar istriku, pasti dia punya alasan yang kuat untuk meninggalkanku sehingga akupun tak akan bisa membawanya kembali padaku.

Jadi, disinilah aku melanjutkan hidupku dengan ribuan pertanyaan yang tak akan pernah terjawab.

*sebagian kisah nyata, sebagian fiksi (terutama bagian yang drama :p)
**ditulis untuk #PeopleAroundUs yang digagas @amrazing

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s