Empat Belas Ribu Enam Ratus Sepuluh Hari
(written: Sunday, August 11, 2013)
Hari ini adalah perayaan 40 tahun pernikahan orangtua saya. Hari ini, 40 tahun yang lalu, mereka berjanji untuk menerima satu sama lain menjadi istri dan suami, berjanji untuk saling setia dan mendukung, dalam suka dan duka, saat sehat dan sakit. Janji yang tidak main-main karena diucapkan di hadapan Tuhan. Janji yang mereka telah pegang dan penuhi hingga hari ini, 40 tahun kemudian. Saat itu Bapak berumur 25 tahun dan Mama belum genap 21 tahun. Usia yang menurut saya masih sangat muda untuk membuat janji sedahsyat itu (saya saja sudah umur segini masih ngeri hahaha).
Kondisi mereka saat itu bisa dibilang luar biasa beresiko. Usia mereka masih muda dan Bapak belum bekerja. Jangankan saat ini. Saat itu saja kakek saya, Bapaknya Mama, tidak menyetujui saat keluarga Bapak datang melamar. Jadi sebenarnya awalnya sudah ditolak. Sangat manusiawi, sangat logis, sangat masuk akal. Mama adalah anak pertama, sungguh riskan melepasnya menikah dengan pria yang belum bekerja. Mau dikasi makan apa nanti? Apalagi Mama saat itu masih kuliah.
Dengan bumbu drama rencana kawin lari, akhirnya kakek saya menerima lamaran Bapak dengan catatan kakek dari Bapak akan memberi modal mereka untuk buka usaha. Pesta perkawinan pun berjalan dengan lancer. Ada cerita menyedihkan, dimana hampir seluruh foto perkawinan tidak bisa dicetak karena terbakar. Hanya tersisa satu atau dua buah foto.
Bapak memang anak petani, tapi dia tidak mau meneruskan tradisi keluarga untuk jadi petani. Karena itu mereka malah memutuskan untuk merantau ke Surabaya. Padahal tak satupun keluarga kami ada di Surabaya. Dasar pemikirannya cuma dua. Kalau mau berkembang harus pindah ke Jawa, dan semua orang Batak adalah saudara. That’s it. Nekat kelas kakap.
Jadi berangkatlah mereka ke Surabaya. Buka usaha seperti rencana semula? Boro-boro. Uang modal hanya cukup untuk dipakai sehari-hari sambil kirim-kirim lamaran kerjaan. Iya, berdua, siapa aja yang duluan dipanggil. Ketegangan meningkat karena Mama keburu hamil anak pertama, abang gue. Untunglah tak lama kemudian Bapak dapat pekerjaan, tapi harus pindah lagi ke kota kecil, Madiun. Disinilah perjalanan yang sebenarnya dimulai.
Bapak bekerja di sebuah perusahaan negara. Dengan modal ijazah SMA posisi dan gaji yang didapat sebenarnya pas-pasan. Tapi karena Madiun adalah kota kecil, maka mereka bisa bertahan. Sayangnya kelahiran 4 orang anaknya membuat kondisi balik lagi jadi pas-pasan hahaha. Untungnya kami berempat tidak terlalu menuntut macam-macam (perasaan sih gitu hahaha).
Sebagai generasi awal orang Batak di Madiun, mereka berdua pasti merasakan culture shock yang lumayan berat. Tapi toh mereka bisa bertahan dan menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Mama kebetulan anak pertama dari 9 bersaudara, jadi memang sejak dulu sudah terbiasa mengurus rumah tangga. Bahkan sekarang mereka sudah bisa berbahasa Jawa dengan lancar. Masakan Jawa? Mama jagoannya.
Orang bilang suatu hubungan akan semakin kuat jika berawal dari bawah dan mendaki ke atas bersama-sama. Hal itu terbukti dalam pernikahan Bapak dan Mama. Mereka berawal dari kontrak sepetak rumah, berpindah-pindah kontrakan 3 kali selama 15 tahun sebelum akhirnya bisa membeli rumah sendiri (walaupun masih kredit). Demikian juga dengan alat transportasi. Dari mulai sepeda, sepeda motor, sampai akhirnya bisa membeli mobil (bekas) 20 tahun kemudian.
Sejak awal mereka berdua seolah-olah sudah menyepakati pembagian tugas secara konvensional. Bapak bekerja mencari nafkah dan urusan ‘laki-laki’ seperti mengurus semua tagihan dan memperbaiki kerusakan di rumah jika ada, sementara Mama mengurus semua urusan rumah tangga termasuk urusan sekolah anak-anak. Itulah sebabnya pengambilan raport sejak TK hingga SMA selalu dilakukan oleh Mama. Saya tidak pernah tahu dan tidak mau tahu bagaimana system pengelolaan keuangan mereka. Tapi yang jelas pengelolaan keuangan mereka sangat luar biasa. Bayangkan saja, dengan gaji yang tidak terlalu besar, mereka bisa menabung untuk membeli rumah, padahal ada 4 anak yang harus dibayar sekolahnya (termasuk kuliah kelak). Namun untungnya biaya sekolah memang tidak terlalu mahal karena kami bersekolah di sekolah negeri selepas SD.
Apakah perjalanan rumah tangga semulus jalan tol? Tentu tidak. Seperti kebanyakan rumah tangga lain, pertengkaran juga pernah terjadi. Tentu tidak pernah sampai panas membara penuh adegan bentak dan pukul, tapi hanya nada yang naik sedikit lalu saling diam selama beberapa hari. Entah siapa yang memulai akhirnya nanti bisa akrab lagi. I think it’s over when it’s over.
Secara umum, Bapak dan Mama adalah orangtua yang cukup demokratis dan moderat. Secara prakteknya Bapak dan Mama seolah mengambil posisi yang saling menyeimbangkan. Bapak lebih idealis, sementara Mama lebih realistis. Ada beberapa contoh, misalnya saat adik saya lebih memilih untuk mengambil jurusan A3 padahal dia bisa masuk A1, Bapak hampir tidak mau tandatangan, karena menurut beliau A1 jauh lebih bergengsi. Nanti selepas SMA lulusan dari A1 bisa mengambil jurusan sosial sementara dari A3 hampir tidak mungkin mengambil jurusan eksakta. Namun akhirnya Mama berhasil ‘memaksa’ Bapak untuk menyetujui keputusan adik saya itu. Lalu pernah juga saat adik saya yang paling kecil ingin mendaftar jadi pramugari setelah lulus SMA. Lagi-lagi Bapak menentang dan Mama berhasil membuat Bapak menyetujui keputusan tersebut. Banyak lagi contoh-contoh lain tentang perbedaan pendapat tersebut yang akhirnya berakhir baik. Secara tidak langsung, pada akhirnya kami lebih memilih untuk bercerita pada Mama lebih dulu agar hasilnya lebih ‘mulus’ nantinya hahaha. Oya, Bapak memang cukup keras kepala dan kata Mama hal itu diturunkan ke saya hahahaha.
Seperti juga rumah tangga lain, ada beberapa hal yang menjadi tradisi kami sekeluarga. Yang paling saya ingat adalah sarapan dan makan malam bersama. Saat-saat kami sekeluarga bertemu dan berbincang tentang segala hal. Namun tentu sekarang sudah sulit karena kami sudah tinggal terpisah-pisah. Bapak dulu juga punya kebiasaan mengajak kami makan keluar minimal sebulan sekali. Bukan ke tempat mahal. Hanya makan mi ayam atau bakmi goreng langganan di restoran cina langganan keluarga kami. Beberapa bulan sekali kami juga pergi keluar kota (tanpa menginap) dengan menyewa mobil dan membawa bekal makanan dari rumah. One of the happiest moment in our life.
Konon di Indonesia perkawinan bukanlah antara seorang pria dan seorang wanita saja, melainkan antara dua keluarga besar. Dan untungnya hal itu berlangsung sangat lancar di keluarga kami. Bapak dan Mama sangat dekat dengan ipar-iparnya. Walaupun posisinya hanya menantu, namun suara Bapak sangat didengar dan dihargai di keluarga Mama. Demikian pula sebaliknya. Tapi mungkin juga karena kami tinggal jauh di Madiun, sehingga jarang bertemu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau tinggal berdekatan, mungkin akan saling bermusuhan juga sesekali. Maklumlah, orang Batak pada dasarnya keras kepala.
Kami sangat bersyukur bahwa pernikahan mereka bisa bertahan hingga 40 tahun. Selain usaha mereka berdua untuk menjaganya, berkat berupa umur panjang dan kesehatan dari Tuhan juga salah satu faktor utama. Kami semua berdoa agar mereka berdua diberi umur panjang dan kesehatan dan kebahagiaan untuk 40 tahun lagi, karena kami, 4 anak, 3 menantu, dan 6 cucunya masih membutuhkan mereka untuk menjaga jalan kami ke depan.
40 tahun. 14610 hari. Can you imagine?
Tentu saja komentar berikut ditulis dengan sifat basa-basi hasil dari quick scan tulisan ini: Happy Anniversary!
But seriously, you are blessed with loving parents.
LikeLike
Thanks Mpal 🙂
LikeLike
Ben….So wonderful….*berkacakaca*
LikeLike