In A Rush


In A Rush
(written: Friday, August 31, 2012)

It came over me in a rush
When I realized that I love you so much
That sometimes I cry, but I can’t tell you why
Why I feel what I feel inside

Mataku tak berkedip memandang sosok yang duduk di depanku di kantin ini. Dini, sosok itu, sedang menunggu pesanannya datang sambil asyik bermain dengan gadget di tangannya. Beberapa kali Dini mengangkat wajah dan memandang ke arahku sambil tersenyum, aku hanya membalas tersenyum sekilas dan buru-buru menunduk sambil pura-pura mengetik di hp-ku yang sudah tua.

Itu bukan hanya sekali terjadi. Di kelas pun aku sering diam-diam mencuri pandang ke arah Dini saat dia sedang menulis. Ulangan adalah salah satu saat yang kutunggu-tunggu, karena aku bisa bebas memandangi Dini tanpa harus takut ketahuan. Tentu saja, semua orang kan sedang sibuk mengerjakan soal ulangannya.

Semua terjadi begitu saja. Awalnya adalah saat Dini, anak baru pindahan dari Jakarta itu ditempatkan di kelasku. Tiba-tiba saja aku yang selama ini tak pernah memikirkan soal wanita tertarik padanya. Dini bagaikan magnet yang berbeda kutub denganku, yang menarikku dengan kuat ke arahnya.

Dari segi penampilan, Dini biasa saja. Kulitnya tak terlalu putih, wajahnya bulat telur, hidungnya kecil, matanya agak sipit, pipinya agak tembem, dan rambutnya yang legam sebahu digerai begitu saja. Namun saat dia tersenyum, seluruh bagian wajahnya seolah-olah berkolaborasi membentuk suatu lukisan yang luar biasa cantik. Deretan gigi yang putih dan rapi berpadu dengan lengkung bibir yang tertarik sempurna menjadikan wajahnya begitu sedap dipandang. Saat dia tersenyum seolah-olah dia sedang mengajak seluruh dunia ikut tersenyum. Itulah yang menarik perhatiannya sampai sekarang.

Beberapa kali kami sempat berbincang-bincang di perpustakaan atau saat kebetulan berpapasan di koridor. Sebagai anak SMA, Dini ternyata memiliki wawasan cukup luas. Kami bisa berbincang mengenai apa saja. Mulai dari pelajaran, politik, lingkungan, sampai ke gosip artis. Dan di kelas memang nilai pelajarannya termasuk yang cukup tinggi. Aku sangat menikmati saat-saat bersamanya itu.

Namun akhir-akhir ini aku merasa Dini mulai menjaga jarak denganku. Saat bertemu pandang denganku dia hanya tersenyum sekilas dan melanjutkan aktifitasnya. Tak jarang bahkan dia seolah-olah membuang muka. Dan yang lebih parah, sekarang dia terlihat berusaha menghindar jika bertemu denganku. Dan dia seperti sengaja mulai menyibukkan diri dengan teman-temannya, sehingga tentu saja aku tak punya cukup nyali untuk menyapanya.

Suatu hari saat pulang sekolah aku melihat Dini berdiri di pinggir jalan sambil menunggu angkutan umum. Karena cuaca mendung dan hujan sudah hampir turun, aku memberanikan diri untuk berhenti di dekatnya.

“Dini, lagi nunggu siapa? Ayo ikut saya saja, keburu hujan nanti”

Dini hanya terdiam. Wajahnya kebingungan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Sementara hujan mulai menetes satu-satu dari langit.

“Ayo, nanti kamu basah malah sakit”

Akhirnya dengan wajah setengah terpaksa Dini masuk ke mobilku.

Aku menjalankan mobil pelan-pelan. Kebetulan kami searah jadi aku tak perlu memutar jauh untuk mengantarnya pulang ke rumahnya. Hening merayap selama perjalanan. Karena tak tahan, akhirnya aku membuka percakapan.

“Dini kenapa sepertinya kamu menghindar dari saya akhir-akhir ini? Apa saya mengganggu kamu?”

Dia hanya menggeleng singkat sambil terus menunduk.

“Lalu kenapa?” Aku terus mendesaknya.

Akhirnya Dini membuka mulut dengan setengah terpaksa.

“Saya malu”

“Kenapa harus malu”

“Bapak kan guru saya sedangkan saya murid Bapak. Teman-teman mengolok-olok kalau saya sering ngobrol Bapak.”

Aku tertegun.

“Kalau nilai saya bagus, teman-teman mengira Bapak sengaja memberi nilai itu ke saya, padahal saya usaha belajar sendiri”

Aku tak tahu harus berkata apa.

“Jadi saya sengaja menjaga jarak dengan Bapak”

Aku menelan ludah tak mampu menjawab. Dalam hati aku membenarkan semua perkataannya. Sepertinya memang tidak pantas untukku mencintai anak yang umurnya separuh umurku.

Setelah tiba di depan rumahnya, Dini turun. Dan saat itulah aku merasa separuh hatiku terbang bersamanya. Aku sadar aku tak mungkin memilikinya.

In A Rush ~ Blackstreet

4 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s