Matah Ati, Sebuah Pengalaman Indah
(written: Monday, Jun 25, 2012)
Setelah kehabisan tiket pada pertunjukan yang lalu, akhirnya saya bisa juga nonton Matah Ati. Sebuah pagelaran sendratari (seni drama dan tari) atau opera Jawa yang banyak dipuji-puji khalayak ramai. Bahkan sempat mendapatkan pujian juga saat dipentaskan di Singapura.
Pengalaman awal sejujurnya tidak menyenangkan, walaupun petugas di hotline service sangat ramah dan cukup membantu. Tiket tidak dijual online, sehingga harus datang ke lokasi penjualan (yang terbatas juga tempatnya). Padahal Jakarta segini luasnya dan macet pulak, jadi datang langsung ke lokasi penjualan tiket dirasa cukup menyulitkan. Pada saat beli tiket, metode pembayaran hanya cash atau debit BCA. Ini lumayan menyulitkan. Siapa sih yang bawa-bawa duit cash hari gini? Dan gak semua orang punya debit BCA juga. Akan lebih mudah kalo pembayaran bisa dilakukan dengan kartu kredit atau debit bank lain juga. Lalu setelah membayar, kita tidak langsung mendapatkan tiketnya. Melainkan hanya invoice dan tanda bukti pemesanan yang harus ditukarkan lagi di tempat pembelian tiket itu sehari sebelum pementasan. Cukup merepotkan. Dan dengan harga tiket yang tidak murah dan kerepotan yang harus ditanggung calon penonton, saya sangat berharap pementasan itu tidak mengecewakan. Oya, tiket sudah terjual cukup banyak, dan pilihan tempat duduk sudah terbatas.
Di tiket disebutkan pintu dibuka pukul 19.30, dan pertunjukan baru akan dimulai pukul 20.00. Kira-kira pukul 19.15 saya sudah ada di lokasi, Teater Jakarta, TIM. Penonton sudah cukup ramai yang datang. Ada beberapa bapak-bapak yang menghampiri saya menawarkan tiket untuk pertunjukan mulai yang kelas 2 sampai VIP. Dan bahkan sudah diskon katanya. Saya tidak tahu yang mereka tawarkan itu tiket asli atau palsu. Setelah pintu dibuka saya tidak langsung masuk karena masih menunggu teman. Eh beberapa bapak-bapak yang tadi menawarkan tiket ke saya itu menghampiri saya lagi, dan sekarang menawarkan untuk membeli tiket saya kalau-kalau teman saya tidak jadi datang. Aneh bin ajaib. Mereka mau jual ke siapa? Pertunjukan sudah mau dimulai, sementara di tiket ada tanggal dan nomor tempat duduknya, jadi tidak mungkin digunakan untuk hari lain. Harus hari itu. Jadi asumsi saya, menjelang pertunjukan dimulai, masih akan banyak orang yang datang dan langsung beli tiket di tempat. Ke bapak-bapak calo tiket itu. Kelak di dalam gedung pertunjukan, saya lihat banyak kursi yang kosong. Terutama di kelas VIP.
Saya dapat tempat di atas, bagian samping kiri kalau menghadap panggung. Dari tempat saya duduk panggung terlihat seluruhnya. Bahkan para pemain gamelan juga terlihat. Spot-nya cukup bagus, tapi memang leher agak pegel harus menghadap ke kiri selama hampir 2 jam. Karena saya sedang sakit perut, saya cukup bersyukur pintu keluar ada tepat di belakang saya, jadi sewaktu-waktu kalau ada ‘emergency’ bisa langsung kabur ke toilet tanpa mengganggu penonton lain hahaha. Di dalam gedung pertunjukan sudah tercium bau dupa wangi yang dibakar di sisi panggung. Panggungnya cukup unik karena miring sekitar 15 derajat (di bagian belakang lebih tinggi dari bagian depan). Dan saat adegan pertama dimulai dengan nyanyian (nembang) merdu seorang sinden, saya sudah langsung tersihir oleh pertunjukan itu selama hampir 2 jam. Sakit perut saya tidak terasa sama sekali. Bahkan saya baru sadar kalau saya kebelet kencing setelah pertunjukan berakhir. Dan semua hal yang tidak menyenangkan di awal tadi, termasuk harga tiket yang tidak murah, langsung terbayar oleh keindahan pertunjukan. Silakan kalau mau menyebutkan saya berlebihan, tapi saya tulis apa yang saya alami dan saya rasakan selama pertunjukan.
Penggambaran setiap adegan, baik dengan nyanyian maupun tarian sungguh indah. Bagi saya yang lahir dan besar di Jawa (walaupun bukan orang Jawa), budaya Jawa seakan-akan sudah melebur di dalam diri saya. Sehingga pertunjukan budaya Jawa seperti ini tidak terasa asing buat saya. Bunyi instrument gamelan terdengar magis saat dimainkan. Favorite saya saat rebab dimainkan dengan lirih mengiringi tokoh utamanya nembang. Saya betul-betul terhanyut di dalamnya.
Tata panggung yang terasa megah dengan lantai panggung yang bisa terbuka dan setting yang berganti-ganti, pencahayaan yang mendukung setiap adegan, musik yang berasal dari satu set gamelan (lengkap dengan drum dan terompet (?)), pemilihan kostum yang indah dan penuh warna, serta koreografi yang sempurna adalah kunci keindahan pertunjukan. Penonton seakan-akan dibawa ke dalam mimpi penuh warna selama hampir dua jam. Sungguh perpaduan seni tradisional dengan teknologi modern yang saling melengkapi.
Buat saya, ceritanya sendiri menjadi prioritas nomor dua. Karena ceritanya cukup sederhana, seorang pangeran dan seorang gadis desa yang saling jatuh cinta di jaman perang, yang ikut berjuang menumpas penjajah, dan akhirnya bersatu dalam pernikahan yang agung, yang kelak akan menjadi cikal bakal berdirinya istana Mangkunegaran. Justru penggambaran tiap adegan yang khas pertunjukan Jawa, baik percintaan maupun peperangan, yang membuat cerita sederhana itu menjadi sangat memikat. Emosi penonton seakan-akan dimainkan dengan cara yang sangat berkelas. Dari mulai adegan meditasi sang pangeran yang penuh godaan, keramaian dan keceriaan di pasar, latihan perang yang penuh semangat, adegan perang yang menegangkan dan menyedihkan karena banyak jatuh korban, persiapan pernikahan yang penuh kesibukan, hingga prosesi pernikahan yang ditutup dengan prosesi malam pertama kedua pengantin. Khusus untuk adegan penutup ini digarap dengan sangat indah. Sensual namun jauh dari kesan vulgar.
Di akhir pertunjukan, saya seakan-akan dibangunkan dari mimpi indah, dan secara tidak sadar saya otomatis memberikan standing ovation. Walaupun rasanya tidak rela pertunjukan berakhir, namun saya puas dengan apa yang saya alami dan rasakan selama hampir dua jam tersebut.
Apakah tidak ada keluhan selama pertunjukan? Oh tentu ada satu keluhan kecil. Di tengah pertunjukan ada selipan adegan komedi khas Jawa, dimana ada 4 orang mbok-mbok di pasar yang bercakap-cakap menyindir kondisi politik di Indonesia. Buat saya, adegan ini mengganggu, karena seakan tidak ada korelasinya dengan keseluruhan pertunjukan. Namun dimaafkan karena gangguan kecil itu tidak berarti dibandingkan dengan keindahan seluruh pertunjukan.
Nanti tanggal 8-10 September akan ada pertunjukan serupa di Solo. Kalau bisa, saya mau datang dan nonton lagi.
Saya jadi tau tentang opera jawa, ternyata cukup terkenal ya. Info bagus 😀
LikeLike
Udah nonton blom? Ntar September ada lagi di halaman Istana Mangkunegaran di Solo. Open air. It’s gonna be awesome 🙂
LikeLike
Saya belum pernah nonton. Dan saya dari Bandung, belum pernah denger acara kaya gitu. Apa mungkin saya yang gatau? Entahlah hehehe.
LikeLike
Kalo gitu ayo nonton ke Solo yuuuk 🙂
*kalo bisa cuti hahaha
LikeLike
Abis baca jadi penasaran sama aktualnya.. Mmm..
LikeLike
Ntar September ada lagi tuh di Solo. Di pelataran Istana Mangkunegaran
LikeLike
|̊\̲̳Λ̲̳̊/̲̳|̊
(˘▿˘)>
(▲ sιαααƿ…!!! Solo I’m coming (mudah2an bisa cuti)
_||_
LikeLike
kl kelas 1 duduknya di atas ya?
LikeLike
Kelas 1 sih di bawah kayaknya
LikeLike