Etalase


Etalase
(written: Tuesday, December 27, 2011)

Aku berdiri terpaku di depan etalase toko itu. Mataku menatap tas hitam yang terpajang di dalamnya. Benda yang kuimpikan sejak berbulan-bulan lalu. Benda yang mampu membuatku melupakan segala keinginanku dan rajin menyisihkan uangku untuk dapat memilikinya. Shallow? Ya, memang. Perempuan sepertiku memang kadang-kadang sering berpikir di luar nalar sehat untuk dapat memiliki barang yang diinginkannya. Tentu saja tabunganku belum cukup untuk membelinya. Harganya berkali-kali lipat gajiku tiap bulan. Mungkin aku butuh waktu hampir dua tahun baru bisa membelinya. Sampai saat itu tiba, aku harus puas dengan memandanginya tiap kali aku pulang kantor. Seperti malam ini. Dan tiap kali aku selalu melihat bayangan diriku sedang membawanya bersamaku. Aku terlihat cantik.

Tiba-tiba terdengar olehku suara anak kecil berlari-larian di sepanjang jalan. Anak-anak berbaju usang tanpa alas kaki tapi bermata cerah, berwajah ceria dan senyum yang lebar. Mereka berlari menyusuri trotoar. Berhenti di setiap etalase dan berceloteh sambil mengagumi barang-barang yang dipajang di dalamnya. Dan saat melewati sebuah restoran cepat saji, mereka berhenti agak lama. Wajah mereka tak bisa berbohong. Tapi lalu mereka kembali berjalan dan berhenti lagi di tiap etalase sambil kembali berceloteh riang.

Saat mereka tiba di etalase ini, mereka mengagumi tas impianku itu. Entah mengapa tiba-tiba sesuatu terlintas dalam kepalaku dan berkata pada mereka

“Tasnya bagus ya…”

Dan reaksi mereka sungguh di luar dugaan. Mereka hanya memandangiku dari ujung kepala sampai kaki. Salah satu anak menjawab pelan

“Iya, mbak”

“Suka?”

Tiba-tiba mereka serempak tertawa keras

“Itu kan tas ibu-ibu, mbak hahahahahaha”

Aku ikut tertawa. Keceriaan mereka menular padaku. Aku teringat sesuatu.

“Eh, kalian sudah makan?”

Mereka saling berpandangan. Yang besar mengangguk, yang kecil menggeleng. Kulihat anak yang lebih besar melotot. Tapi yang kecil menjawab sambil memandang ke kakaknya.

“Kan kita memang belum makan, kak”

Si kakak makin melotot. Aku tersenyum.

“Kebetulan mbak mau makan, ikut yuk”

Si adik memandang kakaknya takut-takut. Aku meraih tangan mereka dan mengajak mereka menuju restoran cepat saji tadi. Sampai disana aku memesan makanan untukku dan untuk mereka berdua. Si adik tanpa malu-malu menunjuk yang diinginkannya, sementara si kakak hanya diam dan memesan sama dengan yang dipesan adiknya.

Selama makan aku mengajak mereka ngobrol tentang banyak hal. Dan disitu aku tahu bahwa mereka berdua sudah tidak mempunyai ibu. Hanya tinggal ayah yang entah dimana sekarang. Mereka berdua tinggal bersama pamannya di pinggiran kota. Paman dan bibinya mengurus mereka dengan baik, namun mereka terpaksa berhenti sekolah karena pamannya itu tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai sekolah mereka berdua dan kedua anaknya sendiri.

Sehari-hari mereka hanya membantu bibinya membuat kue dan menitipkannya di beberapa warung di kota, lalu mengambil hasil penjualan sore harinya. Dan setelahnya biasanya mereka berjalan-jalan sebentar ke mall di pinggiran kota ini. Seperti malam ini. Dan tentu saja mereka belum makan karena mereka hanya membawa uang hasil penjualan dan sedikit uang untuk ongkos pulang. Biasanya mereka makan di rumah.

Kulihat mereka makan dengan lahap sambil sesekali bercanda dan bercerita denganku. Dan ternyata mereka punya mimpi yang tinggi untuk jadi orang kaya. Kata mereka supaya bisa makan enak seperti ini tiap hari. Lalu aku bercerita pada mereka bahwa aku punya kenalan yang kurasa bisa membantu mereka. Lalu aku meneleponnya.

Sekitar 30 menit kemudian sebuah mobil berhenti di depan restoran cepat saji itu. Dari dalamnya keluar seorang wanita setengah baya yang masih terlihat cantik walaupun dengan dandanan yang sedikit terlalu tebal. Dia berjalan masuk ke dalam dan menghampiri kami. Aku memperkenalkannya pada anak-anak di depanku dan mengatakan bahwa wanita itu bersedia untuk merawat dan menyekolahkan mereka jika mereka bersedia ikut wanita itu.

Pada awalnya si kakak terlihat ketakutan. Namun wanita itu membujuk dengan ramah, bahkan dia bersedia mengantarkan anak-anak itu berpamitan ke rumah pamannya. AKu membantu untuk meyakinkan anak-anak itu sampai akhirnya mereka bersedia untuk ikut dengan wanita itu.

Sebelum pergi wanita itu menghampiriku dan berbisik kepadaku.

“Bisa aja kamu nemu yang bagus begini…”

Aku cuma tersenyum kecil saat dia menyelipkan segepok uang ke tanganku sebelum masuk ke mobil dan pergi meninggalkanku. Aku berdiri sejenak merenungkan apa yang baru saja kulakukan. Lalu melangkah kembali menuju ke etalase toko tas itu. Akhirnya, aku tak perlu menunggu lama untuk mendapatkannya.

3 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s