Reuni


Reuni
(written: Monday: November 21, 2011)

Minggu lalu saya bertemu dengan beberapa teman SD. Ceritanya reuni, tapi ternyata yang datang cuma berlima. Tapi tetap seru, karena banyak cerita yang kami tukar saat itu. Dan seperti biasa tentu cerita seputar ‘nasib’ teman-teman sekarang adalah cerita paling menarik. Dan kekhawatiran saya akan pembahasan status lajang ternyata hanya jadi kekhawatiran bodoh. Teman-teman telah tumbuh menjadi pribadi-pribadi yg open minded. Walaupun sesekali terlontar joke, tapi tak sampai menyakitkan. That’s good.

Dulu saya bersekolah di sebuah SD Katolik, salah satu sekolah dasar terbaik di kota asal saya. Di sekolah itu, seingat saya disiplin adalah hal yang paling utama. Saya tidak pernah mencontek satu kalipun saat SD. Dan hampir tidak pernah dimarahi guru. At least tidak ada yang membuat saya teringat sampai sekarang. Saya juga tidak pernah terlambat, karena kalau terlambat pasti dihukum, dan saya malu kalau sampai dihukum. Semua hal ini terus terang membentuk dasar pribadi saya dalam melangkah di kemudian hari. Oya, konon menurut teman-teman saya termasuk…ehm…anak pintar waktu SD, walaupun saya sendiri hampir tidak pernah sadar. Memang dari segi nilai saya selalu berada di tiga teratas. Tapi waktu itu rasanya semua effortless. Saya bukan termasuk anak yang rajin belajar. Buat saya inti dari belajar itu hanyalah mengerjakan PR. Jadi kalau PR sudah selesai artinya saya sudah belajar. Tapi memang sih waktu itu yang namanya PR hampir selalu ada, jadi ya mau tidak mau terpaksa belajar juga waktu mengerjakan PR.

OK, enough with me and my effortless success hahaha. Kita teruskan saja. Kabar mengenai beberapa teman terus terang cukup mengejutkan. Banyak hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan terjadi pada mereka. Dari yang klise hingga yang super spektakuler. Walaupun ada bangga terasa, namun sedikit kesedihan sempat menyelinap mendengarnya.

Obrolan dibuka dengan cerita lucu (dan konyol) tentang seorang teman yang sudah lama tinggal di Amerika, yang berkunjung ke Indonesia. Saat dia bertemu dengan seorang teman lainnya, yang pertama ditanya kabar adalah saya. Dia mengingat saya dengan baik. Padahal dia pindah sekolah saat kelas 3 SD, yang artinya 26 tahun yang lalu (ya, saya setua itu hahaha). Dan selama itu kami tidak pernah bertemu sekalipun. Dan sialnya saat dia mendapatkan nomor saya dan menelepon, saya bilang lupa dia siapa. Saat dia menyebutkan nama, saya tak juga bisa mengingat sejumput kenangan tentangnya. Dan belakangan dia mengeluh pada teman saya. Saya takjub sekaligus sedih. Kenapa dia mampu mengingat sementara saya tidak. Apa ini awal dari kerusakan otak? Hahaha. Oya, saat teman saya menunjukkan fotonya, saya tetap tidak bisa mengingat. Katanya dulu dia gendut, tapi sekarang sudah jadi langsing. Sayang dia tidak sempat ikut pertemuan kemarin.

Lalu obrolan berlanjut. Beberapa teman telah menikah hingga dua kali. Konon itu disebabkan karena mereka salah memilih suami. Kasihan. Padahal seingat saya mereka adalah anak2 perempuan yang manis dan alim. Tak pernah terbayang sampai mereka bisa berakhir dengan orang yang salah. Well, orang memang bisa saja salah memilih sih. Tapi konon (lagi) sekarang mereka bahagia dengan penggantinya masing-masing. I’m happy for them.

Obrolan semakin memanas. Kami mulai memesan makanan dan melanjutkan perbincangan sambil makan.

Yang bernasib sama seperti saya, masih melajang, juga banyak. Ada yang tetap bahagia seperti saya, namun ada juga yang tidak bahagia. Yang tidak bahagia ini juga terbagi-bagi lagi. Ada yang sedemikian gigihnya berusaha sampai minta-minta dikenalin hingga terkesan desperate dan (maaf) murahan. Ada yang konon sampai stress dan terganggu mentalnya hanya karena tak kunjung mendapatkan pasangan sesuai yang diinginkan. Dan yang paling tragis, ada teman yang sampai bunuh diri karena ditinggalkan oleh pasangannya. RIP, dear…

Ternyata teman-teman saya memiliki beragam profesi. Ada yang sukses dengan usaha fotografinya. Lalu ada yang sukses jadi juragan tempe di Osaka, Jepang. Ada juga yang menjadi pengusaha restoran di Amerika. Yang jadi karyawan seperti saya, dan juga ibu rumah tangga juga banyak. Lalu ada juga yang menjadi desainer perhiasan.

Oya, ada cerita menarik tentang teman saya yang jadi desainer perhiasan ini. Dia lelaki tapi memang tingkah lakunya agak gemulai seperti perempuan. Dulu saat SD anak-anak selalu mengejek dia. Saya sih termasuk yang tidak pernah ikut-ikutan. Terus terang saya memang cenderung pendiam dan tidak suka terlibat konflik. Menurut saya, ejekan-ejekan saat itu agak mengarah pada bullying. Tapi si teman ini memang bermental baja. Dan untunglah dia bisa bertahan dan tumbuh menjadi orang yang tangguh. Dia mengikuti passion-nya, dan akhirnya sekarang dia sudah sukses menjadi seorang desainer perhiasan. Konon beberapa perhiasan Ratu Brunei adalah hasil desainnya. Oya, he’s openly gay now, and we’re so proud of him.

Ada yang berubah dibanding saat SD dulu. Ada yang dulunya nakal dan tukang berkelahi, sekarang jadi family man. Ada yang dulunya pendiam sekarang jadi bawel, contohnya saya hahaha. Dan ada juga yang tidak berubah sama sekali. Salah satu teman ada yang dulu saat SD selalu diantar dan diurusi oleh pembantu (kita menyebutnya dayang-dayang hahaha), dari mulai membawakan tas sampai menyuapi saat makan. Dan itu berlangsung sampai sekarang (tapi tentu tidak disuapi lagi). Can you imagine that?

Lalu ada satu cerita yang membuat saya shock. Ada salah satu teman yang termasuk dekat dengan saya, dulu dia anak yang lumayan bandel, sering berkelahi. Tapi herannya kami bisa akrab. Mungkin dulu karena kami sering main ke rumah salah satu teman untuk membaca komik Donald Bebek dan menonton video silat disana, makanya kami bisa dekat. Sekarang dia bermukim di Torino, Italia, dan konon menjadi salah satu target buruan Interpol. Hidupnya seperti mafia-mafia pada umumnya. Keluar masuk penjara, kemana-mana membawa senjata api, perjalanan keliling dunia dan tentu saja bergelimang uang dan wanita cantik. Persis seperti mafia di film-film action yang pernah saya tonton. Salah satu teman kebetulan pernah bertemu dengannya saat dia berkunjung ke Indonesia. Penampilannya jauh dari bandel. Dia tampak seperti orang biasa, cenderung rapi dan pendiam. Namun ekspresi dan tatapan matanya dingin sekali. Tidak ada ekspresi yang meledak-ledak, tidak ada rasa marah, tidak ada tawa lebar. Hanya senyum tipis yang ditampilkan. Kata teman saya terlihat misterius. Yang membuatnya semakin menakutkan adalah dia mampu mengingat kejadian yang sudah lama sekalipun. Ah, saya jadi kasihan mendengarnya. Mendengar apa yang menyebabkan dia menjadi begitu. Mendengar kisah hidupnya sejak kami berpisah puluhan tahun lalu.

Sepertinya masih banyak yang ingin kami bagi di acara itu, namun hari sudah terlalu malam, dan kami harus segera berpisah. Kami merencanakan untuk berkumpul lagi beberapa bulan mendatang. Tentu dengan peserta yang lebih banyak, dan waktu yang lebih lama. Dan tak lupa cerita-cerita yang lebih menarik. Ah, saya jadi rindu teman-teman.

Ketika pulang, sepanjang jalan saya tak berhenti bersyukur. Hidup saya sekarang ternyata terasa tidak terlalu berliku dan baik-baik saja.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s