Perempuan Itu
(written: Friday, November 25, 2011)
“Kembalikan dia padaku. Dia milikku, kau telah mengambilnya dariku”
Perempuan itu menangis di depanku, memohon agar aku mengembalikan pria itu padanya. Ya, pria itu, suamiku, ayah dari anakku.
“Kita sama-sama perempuan. Kenapa kau tega melakukan ini padaku?”
Aku tetap terdiam. Tak mampu menjawab. Harusnya aku yang bertanya itu padanya.
“Kau tahu dia mencintaiku. Dia tak pernah mencintaimu. Kenapa kau mengambilnya dariku?”
Suaranya makin meninggi. Bercampur isak yang sudah tak bisa ditahannya lagi. Ini sudah kesekian kalinya dia menangis di depanku.
“Kembalikan dia. Tolonglah….”
Seperti biasa dia meraung panjang dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Aku hanya bisa diam. Aku tak ikut menangis. Tidak, aku tak akan menangis. Air mataku telah kering berbulan-bulan lalu. Tepat saat aku menyadari bahwa pernikahanku telah berakhir.
Aku akan selalu mengingat hari itu.
Sore itu aku pulang mengajar dari sekolah lebih cepat. Badanku terasa panas dan kepalaku pusing sekali. Yang kuinginkan hanyalah cepat-cepat sampai di rumah dan segera berbaring. Kehamilanku memang terasa agak berat. Maklum, anak pertama. Saat tiba di rumah, aku heran karena pintu pagar terbuka. Aku berpikir tidak mungkin suamiku pulang duluan, karena dia masih di luar kota. Ada proyek yang sedang dikerjakannya disana sejak minggu lalu. Aku masuk perlahan sambil berhati-hati. Maklum akhir-akhir ini aku sering membaca dan menyaksikan di televisi, banyak perampokan dilakukan di siang bolong. Ternyata rumah masih dalam keadaan terkunci. Aku menjadi tenang. Kupikir pasti tadi ada orang yang datang ingin bertamu namun pergi lagi tanpa menutup pagar.
Aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya kambali, lalu berjalan ke kamar. Di dalam kamar kutemui koper milik suamiku. Ternyata dia sudah pulang. Aku agak bertanya-tanya, mengapa dia tak memberitahuku. Tapi karena kepalaku pusing sekali, kuputuskan untuk berbaring saja di tempat tidur. Kupikir suamiku pasti tadi pulang sebentar lalu keluar lagi, mungkin ke rumah orang tuanya yang tinggal tak jauh dari rumah kami.
Karena agak panas, aku bangkit dan membuka jendela kamar. Itulah saatnya. Saat aku menyadari pernikahanku telah berakhir. Jendela kamar kami memang berhadapan langsung dengan kamar tetangga sebelah. Dan saat aku membuka jendela, tubuhku langsung membeku. Di kamar itu dari balik tirai tipis kulihat suamiku tertidur pulas sambil memeluk seorang perempuan dalam keadaan polos. Perempuan itu tetanggaku. Suaminya sudah meninggal saat kami pindah ke rumah ini beberapa bulan lalu. Katanya meninggal saat tidur, mungkin serangan jantung.
Pusing di kepalaku makin menghebat. Aku tak kuat lagi. Aku menutup jendela dan kembali ke tempat tidur. Aku terbangun saat hari mulai gelap. Kulihat pintu terbuka dan lampu ruang tengah telah dinyalakan. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Kulihat suamiku duduk menonton televisi di ruang tengah. Dia tersenyum dan menghampiriku. Memelukku hangat dan mencium keningku. Aku hanya tersenyum tipis. Lalu aku ke belakang untuk membuatkan kopi untuknya. Dia menahanku namun kukatakan aku baik-baik saja. Akhirnya dia kembali menonton televisi dan aku ke dapur untuk membuatkan kopi untuknya. Dia suka kopi tubruk pahit tanpa gula.
Sambil memanaskan air, pikiranku berputar-putar. Apa yang kulihat lewat jendela tadi siang terbayang dengan jelas di mataku. Semakin aku ingin menghapusnya, semakin melekat bayangan itu. Aku melirik ke sudut ruangan, keputusanku sudah bulat.
Kubawa kopi buatanku dalam gelas besar kesayangan suamiku ke ruang tengah. Untukku sendiri kubuat teh manis. Aku tak suka kopi. Kulihat dia meminumnya sampai habis sambil terus menonton televisi. Lalu aku menunggu. Dan yang kuinginkan terjadi. Tiba-tiba dia mengeluh mual dan pusing, lalu mulai muntah-muntah. Dia terjatuh dari kursi dan mulutnya terus berbusa. Aku melihat tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya diam. Racun tikus itu cukup kuat. Aku tak menyesal. Dia harus membayar pengkhianatannya. Aku tahu, aku tak mungkin bercerai darinya. Aku tak ingin membesarkan anak kami sendiri, dan aku tak ingin menyerahkannya padanya. Namun aku juga tahu aku tak mungkin hidup tanpanya. Perlahan kuambil gelas tehku dan meminumnya sampai habis. Rasa sakit menghantam perut dan kepalaku, membuat dunia seakan berputar cepat. Namun tak lama kemudian putaran berhenti. Yang tertinggal hanya sunyi dan kegelapan.
“Kembalikaaaan…kembalikaaan….”
Kudengar perempuan itu menjerit-jerit lagi di depanku. Aku hanya memandang dingin padanya.
Lalu datang dua orang laki-laki mendekati perempuan itu. Memegang tangannya dan memaksanya berdiri. Perempuan itu meronta-ronta sambil terus berteriak dan menangis.
“Lepaskan aku. Lepaskan…… Perempuan itu mengambilnya dariku. Dia yang membunuhnya. Dia yang jahat. Dia yang harus kalian bawa, bukan aku…”
Dua orang itu saling berpandangan dan menghela nafas panjang.
“Sudahlah Nia, kau harus ikhlas. Tidak baik begini terus, nak….Mereka berdua sudah pergi, tak ada gunanya lagi…”
“Tidak…perempuan itu harus membayarnya. Dia sudah mengambilnya dariku. Dia harus mengembalikannya padaku. Lalu baru dia boleh pergi ke neraka…hahahahaha”
Perempuan itu menangis, lalu tertawa, lalu menangis lagi, lalu tertawa lagi. Tawanya terus terdengar sampai mereka jauh, saat kedua laki-laki itu menyeretnya pergi dari makamku.