Penari Kampung
(written: Saturday, October 15, 2011)
Aku paling suka hari Minggu. Itu adalah hari dimana aku bisa menghabiskan waktu bersama Ibu dan nenekku. Kami memang tinggal bertiga. Aku bisa memasak makanan kesukaan kami dan makan bersama sambil bercerita. Ibu baru pulang pagi tadi. Lalu dia akan tertidur seharian dan bangun menjelang sore. Aku sudah biasa melihatnya begitu.
Ibuku adalah seorang penari. Namanya Marni. Di kelompoknya ada 3 penari, dan dia yang paling cantik. Setelah pertunjukan, biasanya dia tidak langsung pulang. Entah pergi kemana dulu. Mungkin pergi lagi menari di kampung sebelah. Sekali dua kali dia mengajakku ke pertunjukan. Dan biasanya aku pulang bersama Pak Dimin, penabuh gendang di kelompok tari itu. Dan pada saat pulang, Ibu membawa uang yang cukup banyak. Dengan cara itulah dia membiayai kehidupan kami bertiga, membayar biaya kontrak rumah, dan menyekolahkanku. Tahun ini aku akan lulus SMP dan melanjutkan ke SMA. Kata Ibu biayanya besar. Jadi aku tak tahu apakah aku bisa melanjutkan sekolahku atau tidak.
Sejak kecil aku selalu ingin ikut menari dengan Ibuku. Aku ingin membantunya mencari uang untuk membiayai sekolahku nanti. Namun Ibu selalu melarangku. Belum waktunya, katanya. Tapi aku senang berlatih menari dengannya. Tak heran di usiaku yang baru 15 tahun ini tubuhku sudah berkembang layaknya wanita dewasa dengan lekuk yang mampu mempesona pria. Dan kata Pak Dimin wajahku cantik, persis wajah nenekku dan Ibuku sewaktu muda. Beberapa kali memang ada pemuda-pemuda kampung yang menggodaku saat aku ikut menonton pertunjukkan Ibu. Tapi Ibu selalu melarangku untuk bergaul dengan mereka. “Percuma, anak-anak seperti itu ngga ada duitnya,” begitu selalu katanya.
Aku selalu bertanya-tanya, kenapa Ibu selalu menilai sesuatu dari sisi materi seperti itu. Mungkin dia tak ingin aku menghabiskan waktu percuma dan menyia-nyiakan sekolahku yang sudah mahal-mahal dibayarnya. Dan akhirnya selain sekolah kegiatanku hanya berdiam di rumah saja. Oya, seminggu dua kali aku mengajar anak-anak kampung ini menari di balai desa. Lumayan, aku jadi bisa membeli keperluanku sendiri tanpa meminta dari Ibu.
Beberapa kali aku pulang diantar Mas Arif. Dia juga salah satu pengajar tari. Jadi biasanya dia mengajar anak laki-laki, dan aku mengajar anak perempuan. Usianya sekitar 10 tahun di atasku. Dia guru matematika di satu-satunya Sekolah Dasar di kampung kami. Dia berasal dari kota, dan ditugaskan mengajar di kampung ini sejak 2 tahun lalu. Dia baik sekali. Bahkan beberapa kali dia mengajariku beberapa tarian modern dari kota. Namun begitu Ibu mengetahuinya, dia langsung melarangku bergaul dengannya. Bahkan dia tak mengijinkanku lagi mengajar tari di balai desa itu. Mas Arif pernah mencoba menemui Ibu untuk memintaku kembali mengajar, namun Ibu malah memaki-makinya.
Sekitar jam 4 sore Ibuku bangun dan langsung mandi lalu merias diri. Aku heran, biasanya Minggu sore dia di rumah saja dan kami bisa menghabiskan sisa hari ini bertiga saja. Ketika aku bertanya dia tidak menjawab, malah menyuruhku segera mandi dan berhias. Aku tak bertanya lagi. Kupikir dia ingin mengajakku berjalan-jalan ke kota. Saat berjalan ke kamar mandi kulihat nenekku memandang tajam ke arahku. Setelah mandi aku menuju ke kamar untuk berdandan. Dari kamar kudengar suara Ibu dan nenekku yang saling berteriak. Teriakan-teriakan itu berhenti saat aku masuk ke kamar Ibuku. Nenek memandang aku dan Ibu bergantian lalu berjalan meninggakan kami. Kulihat airmata di sudut matanya. Ibu melihatku sepintas lalu segera menarikku berjalan keluar rumah.
Kami naik becak menuju kampung sebelah. Sepanjang jalan Ibu hanya diam. Saat aku bertanya kenapa nenek menangis, dia menjawab singkat,”Kamu mau melanjutkan sekolah, kan? Makanya nurut saja sama Ibu, jangan banyak tanya ya.” Akhirnya aku hanya diam sepanjang jalan.
Sekitar jam lima kami tiba di tujuan. Sebuah rumah besar di kampung sebelah. Sepertinya rumah orang kaya. Di pintu gerbang kami disambut seorang laki-laki tua yang mengangguk hormat pada Ibu. Kemudian kami diantar ke sebuah ruang tamu yang luas dan cukup mewah. Meja kursinya terbuat dari kayu jati. Aku sibuk mengagumi perabotan yang serba indah di ruangan itu, sementara Ibu hanya diam menunggu. Lalu keluar sepasang suami istri dari dalam. Usia mereka sekitar awal empat puluhan. Wajah mereka terlihat ramah. Setelah berbasa-basi sejenak, lalu Ibu menyuruhku keluar sebentar ke teras karena ia ingin berbicara dengan suami istri itu.
Beberapa saat kemudian Ibu keluar dan menemuiku. Dia mengatakan bahwa mulai sekarang aku akan tinggal disitu. Nanti barang-barangku akan diantar oleh Pak Dimin. Aku bertanya-tanya mengapa serba mendadak. Ibu hanya mengatakan bahwa ini semua demi masa depanku. Kebetulan beberapa minggu yang lalu dia bertemu sepasang suami istri yang belum mempunyai anak yang mau merawatku dan menyekolahkanku. Walau berat aku akhirnya menuruti apa kata Ibu dan mau ditinggal disitu. Ibu menangis saat memelukku sebelum pulang.
Marni
Aku tak tega meninggalkannya. Tapi dia anakku satu-satunya. Dia tak boleh menderita sepertiku. Aku tahu suami istri itu orang baik. Mereka sudah berjanji akan merawat dan menyekolahkan anakku. Mereka tidak mempunyai anak. Dan mereka menginginkan anak dari anakku. Suaminya akan mengawini anakku. Walaupun akan menjadi istri kedua, setidaknya dia menjadi istri orang yang baik. Tidak akan menderita seumur hidupnya seperti aku. Ini semua salah Ibuku. Dia telah menjualku saat aku masih remaja. Dan tadi dia tak setuju aku melakukan ini. Dia mau anakku juga menjadi penari seperti kami. Tapi aku tak mau. Dia harus hidup bahagia, tidak seperti kami.