Pulang ke Rumah Kita
(written: Wednesday, October 12, 2011)
“Aku mau ke rumah ayah”, kata anakku tiap kali aku marah padanya. Dan ancamannya itu selalu membuatku terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Memang akhir-akhir ini aku merasa dia tambah nakal. Apapun yang kusuruh selalu dibantahnya. Dari mulai menyuruh makan, mandi, sampai menyuruhnya tidur cepat di malam hari agar tidak terlambat bangun pagi. Ya, tahun ini dia mulai bersekolah di sebuah TK tak jauh dari rumah.
Aku sudah mencoba bertanya pada guru-gurunya di sekolah. Tapi jawaban yang kudapat sungguh mengherankan. Anakku sungguh manis di sekolah. Penurut dan cenderung pendiam. Bahkan terkesan minder. Aku makin tak mengerti.
Bukan sekali dua kali aku mencoba untuk mengajaknya berbicara. Tapi dia selalu menghindar. Hingga sore ini hujan turun dan kulihat dia bermain-main dengan bonekanya di teras rumah. Aku beranjak untuk menghampirinya ketika kudengar dia berbicara sendiri. Mungkin mengajak bonekanya bermain.
“Adek pengen ketemu sama ayah. Teman-teman di sekolah semua diantar ayahnya. Kalo ayah tinggal sama kita, pasti kita diajak jalan-jalan pulang sekolah, ya…”
Tubuhku menegang. Jari-jariku terasa dingin. Kesedihan menikam jantungku seketika. Ternyata anakku rindu pada ayahnya. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Aku menelan ludah dan mengambil nafas panjang, kemudian menghampirinya. Dia tidak terlihat kaget melihat kedatanganku. Lalu aku mencoba mengajaknya berbicara.
“Adek pengen ketemu ayah?” Ia mengangguk. Sambil menahan perasaanku lalu kuteruskan, ”Ayah sudah pergi jauh, Dek. Kita tidak bisa menemuinya lagi. Kalau Adek pengen ketemu Ayah, kan nenek sudah ajari Adek untuk berdoa. Nanti Ayah pasti dengar disana.”
Anakku memandang tajam padaku, lalu berkata singkat, “Ibu bohong!!!” Kemudian dia berlari meninggalkanku masuk ke dalam rumah. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku dicekam kebimbangan yang begitu menusuk. Dan sepanjang sisa hari itu anakku tak mau berbicara denganku, bahkan tak mau makan. Aku tak memaksanya, karena aku takut dia akan semakin marah nantinya.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali kulihat dia sudah bangun dan bersiap-siap ke sekolah. Wajahnya agak pucat. Kuraba dahinya agak hangat. Kubujuk dia agar tak usah ke sekolah hari ini, tapi dia berkeras. Akhirnya aku mengalah dan kubantu dia menyiapkan seragam dan alat-alat tulisnya. Kuputuskan untuk mengambil cuti dan menungguinya di sekolah karena aku khawatir terjadi apa-apa pada dirinya.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas menuju kelasnya. Tiba-tiba kudengar suara menyapaku lembut dari belakang. “Halo Andini, apa kabar?”
Aku berbalik. Darahku terasa membeku. Sekujur tubuhku menggigil. Sosok yang sudah kucoba lupakan selama bertahun-tahun tiba-tiba muncul di depanku. Entah kenapa mataku terasa panas. Dari sela-sela mataku yang basah kulihat anakku berlari menghampirinya . “Ayah, sudah ketemu dengan Ibu, kan? Sekarang ayah harus ikut pulang ke rumah kita. Jadi ibu ngga perlu bohong lagi sama Adek”