Manusia Bodoh


Manusia Bodoh
(written: Wednesday, October 12, 2011)

20111104-132926.jpg

“Ice Latte yang grande satu ya”
Suara itu begitu indah. Membuatku terpana beberapa saat sampai aku malu sendiri. Si pemilik suara malah jauh lebih indah. Tubuhnya yang tinggi langsing, rambutnya yang lurus kemerahan dipotong pendek, bibir kecilnya yang selalu menyunggingkan senyum lebar, dan terutama mata sipitnya yang selalu bersinar jenaka. Menurutku nilainya 12 dari skala 10.

Kata temanku, dia bekerja di kantor sebelah. Sebuah bank swasta. Mungkin anak baru, jadi aku memang baru melihatnya sore itu. Namun sejak sore itu, dia menjadi pelanggan tetap kedai kopi ini. Hampir setiap hari dia mampir kesini. Kadang sendiri, kadang bersama teman-temannya. Dan pesanannya selalu sama. Ice Latte grande.

Sampai hari ini aku belum tahu siapa namanya. Aku menjulukinya si Cantik. Dan sampai sekarang aku juga belum berani menyapanya. Nyaliku hanya sebatas memberikan senyumku yang termanis saat memberikan pesanannya. Senyum termanis yang kata temanku malah seperti seringai orang kesakitan. Iya, temanku semua tahu bahwa aku menyukainya. Mereka semua mendukungku. Tapi mereka juga tahu aku belum punya nyali yang cukup untuk memulai percakapan dengannya.

Biasanya dia mampir sehabis jam kerja. Kadang kalau sore dia sempatkan untuk nongkrong sebentar. Kalau sudah agak malam biasanya dia beli untuk dibawa pulang. Beberapa kali aku sengaja tukar shift dengan temanku agar bisa bertemu dengannya saat dia datang. Untungnya teman-temanku sangat mengerti aku.

Beberapa bulan yang lalu aku sudah berniat akan mengajaknya berkenalan. Persiapan mental sudah kulakukan sejak sebulan sebelumnya. Aku sudah berlatih apa yang akan kukatakan saat menyapanya nanti. Aku sudah minta ganti shift, sehingga shiftku berakhir tepat saat jam pulang kantornya. Aku sudah menyetrika baju sampai licin dan wangi. Aku sudah membeli parfum yang memang agak mahal untuk ukuran kantongku. Aku bahkan sudah mempelajari beberapa hal mengenai Perbankan. Sehingga tidak malu saat berdiskusi dengannya nanti.

Tapi apa yang terjadi. Tepat seminggu sebelum rencanaku kujalankan, si Cantik datang ke kedai bersama seorang pria. Tadinya itu kukira salah satu teman kerjanya. Tapi perasaanku agak tak enak melihatnya. Mereka akrab sekali. Keakraban yang lebih dari seorang teman biasa. Tangan si pria terus menggenggam tangan si Cantik. Membuatku hampir sesak napas karena cemburu. Belakangan aku tahu bahwa itu pacarnya. Temanku yang memberitahu. Dia melihat si Cantik sering diantar jemput oleh pria itu. Terpaksa kubatalkan rencana besarku itu.

Beberapa minggu ini kulihat si Cantik sering nongkrong di kedai. Beberapa kali bahkan hingga larut malam. Dan jarang kulihat dia bersama pacarnya. Terakhir aku melihat mereka duduk di pojok berdua tanpa kata. Wajah si Cantik terlihat sedih. Mungkin mereka bertengkar. Ah, kutepis rasa girang yang tiba-tiba menyelinap di benakku. Aku merasa malu sendiri hanya karena membiarkan pikiranku bermain api dengan harapan kosong.

“Maaf, Mbak, ada yang mau dipesan lagi? Kami sudah mau tutup.”
“Oh, Ngga, mas. Saya sudah mau pulang kok”

Itu adalah percakapan terpanjang kami sejak aku melihatnya pertama kali hampir setahun yang lalu. Suaranya masih indah, walaupun terdengar isak yang samar disana. Sebenarnya aku ingin menawarkan untuk menemaninya pulang. Tapi (lagi-lagi) nyaliku terlalu kecil untuk mengatakannya. Jadi aku hanya bisa memandangi kepergiannya sambil merapikan meja dan kursi di dalam kedai. Namun malam itu aku sudah mulai menyusun rencana lagi untuk mengajaknya berkenalan. Kali ini aku tak akan menunggu lama lagi.

Beberapa hari belakangan ini si Cantik tak pernah terlihat lagi mampir ke kedai. Diam-diam aku mulai merindukannya. Dan seperti biasa aku mengorek informasi dari temanku. Akhirnya aku mendapat informasi bahwa si Cantik dipindahkan ke cabang lain di luar kota. Ah, sepertinya memang nasib tidak berpihak padaku.

Beberapa bulan kemudian…..

“Ice Latte yang grande satu ya”
Aku tertegun. Suara itu. Seperti de ja vu rasanya. Kembali aku terpana sampai beberapa saat. Rambutnya sudah panjang sekarang. Senyum khasnya tetap tersungging. Matanya yang jenaka tetap bersinar. Kali ini aku tak akan melewatkannya.

“Apa kabar, Mbak. Kemana aja sudah lama ngga mampir…”

2 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s