Selintas Timika
(written: Tuesday, July 26, 2011)
Minggu lalu gue ada kerjaan ke Timika. Istilah kerennya sih ‘site visit’. Jadi kantor gue ada kunjungan ke salah satu client yang kebetulan adalah perusahaan tambang emas di Papua.
Timika terletak di Papua bagian tengah (lihat peta). Dan setahu gue ngga ada direct flight dari Jakarta ke Timika. Kebetulan waktu itu gue naik Garuda yang transit via Denpasar. Berangkat dari Jakarta sekitar jam 11 malam, transit di Denpasar sekitar setengah jam, dan tiba di Timika sekitar jam 7 waktu setempat (ada perbedaan waktu 2 jam antara Timika-Jakarta). Jadi total perjalanan sekitar 6 jam.
Bandara Timika konon dibangun oleh perusahaan tambang emas itu karena berbagai alasan. Sebagai bukti tanggung jawab sosial sekaligus memperlancar transportasi ke Timika. Bandaranya tidak besar, namun cukup bersih dan terawat baik. Dan tentu saja memenuhi standar penerbangan. Begitu keluar dari bandara, banyak mobil sudah mengantri penjemput di depan. Kebanyakan mobil besar seperti Toyota Land Cruiser atau Ford Ranger/Everest. Typical kendaraan pertambangan. Ada juga beberapa Toyota Kijang dan Avanza, namun hampir tidak terlihat sedan disitu.
Basically, masyarakat Timika hidup dari perusahaan pertambangan itu. Ekonominya bergerak memang karena adanya perusahaan itu disana. Selain itu, hampir tidak ada yang special dari Timika. Perdagangan dan industri tidak terlalu banyak di Timika.
Kota Timika dikelilingi hutan hujan tropis. Walaupun begitu, suhu udara terasa panas dan lembab. Namun hampir tiap sore turun hujan yang membuat hawa menjadi jauh lebih sejuk dan menyenangkan.
Oya, pesan beberapa orang sebelum berangkat adalah hati2 terhadap nyamuk malaria. Mungkin itu sebabnya di hotel semua akses keluar selalu tertutup kawat kassa.
Tadinya gue pikir gue akan menemui rumah2 tradisional Papua, pria2 ber-koteka, dan wanita2 yang hanya mengenakan rok rumbai2 seperti di National Geographic. Ternyata salah sodara2…Berdenyutnya nadi ekonomi karena perusahaan tambang raksasa itu telah menyedot banyak pendatang masuk ke Timika. Pendatang dari Manado, Sumatera, dan terutama Jawa berdatangan ke Timika dan mencoba peruntungan disana. Mulai dari membuka bengkel, rumah makan, toko kelontong, dll. Dan para pendatang inilah yang memenuhi kota. Sehingga pada saat kita berkeliling kota, hanya sedikit sekali penduduk setempat yang terlihat. Itupun sudah berpakaian modern seperti halnya penduduk lainnya.
Kota Timika terlihat mirip dengan kota2 di sepanjang lintas Sumatera. Rumah2 tua yang beratap seng, rumah makan sederhana yang bertebaran di sepanjang sisi jalan, sawah di kanan kiri, sampai halaman rumah yang dihias pohon2 besar. Oya, gue justru melihat rombongan penduduk setempat di sekitar aliran sungai besar di dalam kawasan perusahaan. Mereka sedang mendulang emas, berharap ada sedikit emas yang terhanyut dari proses penambangan emas jauh di atas gunung. Para penduduk setempat ini terlihat sangat miskin. Konon mereka memang tinggal jauh di pedalaman dan hanya masuk ke kota untuk mendulang emas atau berbelanja kebutuhan sehari2. Itu sebabnya mereka jarang terlihat di kota.
Sewaktu masih di bandara Soekarno-Hatta, gue kebetulan ngobrol dengan satu orang warga Timika yang akan ke Jayapura (jalur penerbangannya Jakarta-Denpasar-TImika-Jayapura). Dia baru lulus kuliah di Jakarta dan akan melamar pekerjaan sebagai PNS di Jayapura dan kelak minta ditempatkan di Timika. Orang tersebut cukup jelas berbahasa Indonesia (walaupun tetap dengan logat khas Papua). Keramahannya khas orang daerah. Keramahan yang asli, tidak dibuat-buat. Dia yang memperingatkan gue mengenai bahaya malaria. Disini gue mendapatkan kesan bahwa orang Papua itu cukup ramah dan komunikatif.
Masuk kota Timika seperti masuk ke derah Tarutung di Sumatera Utara. Bangunan gereja ada dimana2. Bahkan sepertinya tiap 100 meter minimal ada satu gereja. Mayoritas penduduk Timika memang Kristiani. Ada satu gereja yang cukup megah di tengah kota, yaitu gereja Katedral.
Konon pada saat peresmiannya dulu penduduk asli Timika berduyun2 datang ke kota memenuhi area gereja sambil membawa babi sebagai sumbangan ke gereja. Konon juga jumlah babi yang disumbangkan sampai seribu ekor. Seperti sudah diketahui, babi mendapatkan tempat yang khusus di tengah masyarakat Papua.
Ada cerita menarik tentang ini. Kalau sedang nyetir di jalan, dan ada rombongan babi melintas, pastikan kita tidak menabrak, apalagi sampai babinya mati. Kalau babinya jantan, paling apes kita hanya mengganti dengan harga yang mahal saja. Tapi kalau babinya betina, wah, mereka bisa menghitung kerugian dengan memperhitungkan opportunity kalau babi tersebut beranak, bercucu, bercicit, dst. Jangan kaget kalau mereka sampai minta 1 miliar hanya untuk seekor babi betina yang mati tertabrak.
Bicara tentang penduduk asli Papua di Timika, yang gue dapatkan memang hanya berdasarkan cerita teman2 disini saja. Menurut mereka, orang2 asli Timika ini kebanyakan berpendidikan rendah dan hanya mengandalkan kekerabatan jika mengalami masalah. Urusan jual beli tanah, ganti rugi kecelakaan, sampai cicilan motor, bisa jadi masalah besar kalau berurusan dengan mereka. Mereka akan mengerahkan keluarganya (keroyokan) untuk membela mereka (tentunya dengan kekerasan dan alasan hukum adat dsb). Jadi teman2 memperingatkan saya agar selalu berhati2 dalam berinteraksi dengan penduduk setempat.
Oya, jangan harap ada mall disini. Boro2 mall, supermarket aja gue cuma liat Gelael tua dengan KFC di lantai atasnya (hallelujah!!)
Para karyawan perusahaan pertambangan itu kan kerjanya di area pertambangan yang tentu saja tidak nyaman untuk tempat tinggal. Nah, bagaimana dengan keluarganya? Walaupun kebanyakan keluarganya tinggal di luar kota (Jakarta/Bandung), namun ada juga yang keluarganya tinggal di Timika. Di tengah kota? Nope. Perusahaan itu mempunyai kawasan sendiri yang disebut Kuala Kencana. Di kawasan ini ada kantor pusatnya, tempat ibadah, sekolah, supermarket, dan tentu saja hunian. Karena kebetulan perusahaan itu client kita, maka saya dengan mudah diajak masuk dan melihat2 kawasan itu.
Masuk dari kota Timika ke kawasan Kuala Kencana rasanya seperti masuk ke dunia yang sama sekali berbeda. Dari kota kecil yang belum maju masuk ke kawasan elite yang sangat terkonsep. Kawasan ini didesain dengan matang. Keindahannya sudah terasa sejak gerbang penjagaan di depan. Jalanan teraspal mulus dan lebar. Taman indah di tengah jalur dengan lampu jalan yang kalau malam dinyalakan. Di tengah kawasan dekat kantor pusat dibangun semacam taman kota dengan air mancur dan patung. Lalu suasana kantor yang ‘sangat Amerika’ dengan karyawan yang bercelana jeans dan polo shirt. Kemudian saat masuk ke kawasan pemukiman, terlihat rumah2 dengan desain yang ‘seperti di film2 Amerika’, dengan halaman rumput yang cukup luas, dan jarak antar rumah yang cukup lapang. Sayangnya suasana terlihat sangat sunyi dengan beberapa rumah terkihat menyalakan lampu di siang hari. Mungki penghuninya sedang liburan atau belanja ke kota.
Belanja? Iya. Teman saya yang kerja di perusahaan itu bercerita bahwa istri dan anaknya beberapa bulan sekali belanja ke Makasar. Kok jauh? Iyalah, belanja sekalian jalan2. Kan bosen disitu terus. Biar ngga ‘gila’, sesekali harus mengunjungi tempat2 dengan peradaban yang cukup memadai hehehehe.
Eh blom bicara soal makanan ya? Gue juga bingung waktu ditanyain tentang makanan khas Timika/Papua. Selama disana selalu diajak makan ke restoran Manado atau rumah makan Padang. Terus terang di kotanya tidak ada yang jual makanan khas Papua. Ehm pas liat menu room service di hotel, ada yang namanya papeda. Disebutkan disitu bahwa papeda adalah makanan khas Papua yang dibuat dari tepung sagu. Karena penasaran ya gue order aja. Disitu sih harganya 80 ribu, tapi kalo di luar mungkin jauh lebih murah. Oya, gue juga sempat browsing, katanya selain Papua, papeda juga makanan asli penduduk Maluku.
Papeda bentuknya seperti lem kanji yang bening dan lengket itu. Rasanya…eh ngga ada rasanya ding. Hambar aja gitu. Tapi papeda itu makannya pakai sup ikan asam pedas, dan tumis kangkung. Nah, si sup ikan itu enak banget. Ya udah gue makan sup & kangkungnya aja. Yang jelas gue udah nyoba makan papeda.
Ada juga sih makanan khas di Timika, yaitu kepiting hitam yang dimasak bumbu kari. Karena ngga sempet nyicipin, akhirnya temen pesen untuk dibawa pulang ke Jakarta. Dan pas sampe di Jakarta rasanya gak sabar pengen makan itu kepiting. Dan ternyata sodara2, kepitingnya JUARA!! Beda rasanya sama kepiting yang biasa dimakan disini. Kepitingnya besar2, dagingnya tebel dan manis, bumbu karinya gurih dan pedesss 🙂
Eh satu lagi. Papua merupakan salah satu wilayah dengan penderita HIV-AIDS tertinggi di Indonesia. Tentu yang membawa pertama kali adalah para pendatang. Makanya disana hampir tiap sudut ada iklan layanan masyarakat yang menghimbau penggunaan alat pengaman untuk mengurangi penyebaran HIV-AIDS
Mudah2an next time ada waktu buat explore lagi
*) semua foto adalah koleksi pribadi, kecuali peta Papua yang ambil dari internet
Gw pikir akan lebih mendalami klo lo pake pakaian tradisional sana bang, lalu tweetpic. Brani? B-)
LikeLike
tolong di perhatikan masyarakat mengenai HIV aids, soalya dengan banyaknya pergaulan maka akan terjerumus kedalam hal2 tidak di inginkan oleh masyarakat papua
LikeLike
ini sih complete description ben, bukan selintas… mantap!
LikeLike
Pengen ke Timika euy… mengunjungi kekasih hati yg kerja disana
LikeLike
Sangat menarik , semoga punya kesempatan mengunjungi tanah papua kelak .. 🙂
LikeLike
Nice!!!!! Saya punya teman yg bertugas disana, ceritanya sama persis dg cerita ini. Bahkan foto2 yg dia kirim pun mirip2. Jadi makin penasaran, kepingin mengunjungi Timika….*hopefull
LikeLike
Saya suka artikel ya yg kamu tulis bagus
LikeLike
Thanks ya Lilis 🙂
LikeLike