Saat Rasa Sakit Mengalahkan Segalanya
(written: Monday, July 04, 2011)
Pernahkah anda mengalami suatu rasa sakit yang seolah-olah menghantam dada anda, menghimpit semangat anda, mengikat seluruh hidup anda, dan membuat anda ingin menyerah? Saya pernah. Rasanya seperti tenggelam di suatu rawa yang tak berdasar dan tak berbatas, yang menghisap tubuh saya jauh ke dalamnya. Dan rasa sakit itu timbul dari rasa kecewa yang begitu besar, akibat pengharapan yang begitu tinggi, sehingga seolah-olah saya dibanting dari tempat yang sangat tinggi saat harapan itu tak terpenuhi. Rasa sakit membuat saya hampir tak bisa bernafas dan tak ingin melakukan apapun kecuali marah pada semua orang dan ingin merusak segalanya.
Kalau sekarang saya menengok ke belakang, sering saya mengalami hal-hal seperti itu. Tapi toh saya bisa bertahan sampai saat ini. Tadinya saya pikir rasa sakit yang timbul dari rasa kecewa itu telah mengalahkan segalanya, dan membunuh jiwa saya. Namun saya keliru. Bukan rasa sakit itu yang membunuh saya, tapi saya sendirilah yang tanpa sadar telah pelan-pelan membunuh diri saya sendiri. Kenapa begitu?
Apakah saya salah menaruh harapan begitu tinggi? Tentu tidak. Orang tua saya dulu selalu bilang bahwa saya harus menggantungkan cita-cita saya setinggi langit. Jadi tidak salah kalau saya menaruh harapan besar pada beberapa hal. Lalu apa yang salah? Ada dua kesalahan saya.
Pertama adalah cara saya menghadapi ‘kekalahan’, yaitu saat harapan saya tidak terpenuhi. Saat berharap, saya lupa untuk menyiapkan diri untuk menerima kekalahan. Sekecil apapun itu, selalu ada peluang bahwa harapan kita tidak terpenuhi. Apapun sebabnya. Andaikan saja saya sudah siap untuk kalah, pasti saya tidak akan merasakan kekecewaan yang begitu dalam dan menyakitkan.
Kedua, kurang bersyukur. Dalam setiap kekalahan, seharusnya saya melihat lagi ke belakang dan mengingat semua kemenangan yang pernah saya peroleh. Dan saya harus mensyukuri kemenangan-kemenangan itu. Dengan demikian, kekalahan ini akan terasa sangat kecil dan tak ada artinya. Otomatis tidak akan terasa begitu menyakitkan lagi.
Hal kedua inilah yang utama. Rasa syukur. Begitu banyak kemewahan-kemewahan yang kita terima tiap saat, namun kita dengan mudahnya selalu melupakannya. Namun dengan hanya sedikit sekali kesulitan dan kesusahan, kita seolah-olah mampu mengingatnya seumur hidup. Tanpa sadar, kita telah memelihara semua rasa sakit dalam tiap langkah kehidupan kita. Dengan demikian kita pelan-pelan telah membunuh diri kita sendiri. Dan ini harus segera dihentikan.
Sekarang kita tahu, saat rasa sakit seolah-olah mengalahkan segalanya, ada yang mampu melawannya, yaitu rasa syukur.