Tak Tega?


Tak Tega?
(Written: Monday, June 27, 2011)

Kalau sekarang nyetir di jalanan di Jakarta, kita lihat makin banyak saja pengemis yang berkeliaran di jalan. Dari mulai orang cacat, ibu2 dan bayinya, anak2, bahkan sampai pria & wanita dewasa yang kondisinya terlihat sehat. Itu baru pengemis, belum lagi pengemis ‘berkedok’ kerja, seperti pengamen di perempatan (baik pakai alat musik, pakai tutup botol, maupun yang modal tepuk tangan doang) dan pembersih mobil (yang malah sering bikin mobil baret). Dari fenomena sosial ini, siapa yang harus bertanggungjawab?

Pasti kita dengan cepat menjawab: pemerintah. Benarkah?

Pemerintah memang seharusnya bertanggungjawab untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar tersebut (pasal 34 UUD ’45). Dalam hal ini pemerintah agak lalai melaksanakan kewajibannya. Namun sebenarnya saat ini memang agak sulit untuk mengendalikan para tunawisma ini. Berulangkali mereka dirazia untuk dibawa ke panti sosial, namun akhirnya kembali lagi ke jalan. Yang gue pernah dengar, di panti sosial mereka diajarin berbagai macam ketrampilan, sehingga nantinya bisa digunakan untuk bekerja. Namun karena mereka lebih ‘menikmati’ hidup di jalan dan mendapatkan uang dengan cara ‘mudah’, maka mereka memilih untuk kambali ke jalanan. Nah, kalau sudah seperti ini siapa yang harus bertanggungjawab?

Secara tidak sadar, kita sudah berperan dalam hal memperbanyak jumlah orang2 yang berkeliaran mencari nafkah di jalanan. Dengan dalih ‘kasihan’ atau ‘cuman gopek’ kita telah ‘memelihara’ komunitas tersebut sehingga mereka bertahan di jalanan. Bahkan ada yang bilang sekarang sudah dikoordinasikan secara professional lengkap dengan system rekrutmen dan bagi hasil yang sepadan. Bahkan sudah ada struktur organisasi-nya segala (katanya). Pemerintah sendiri sudah berusaha menanggulangi hal ini dengan menerapkan denda bagi pihak yang ketahuan memberi uang kepada komunitas jalanan ini. Memang dalam pelaksanaannya agak sulit, namun pemerintah sudah berusaha. Nah, apa sekarang kita masih harus terus menyalahkan pemerintah?

Kenapa sih kita tetap memberi uang kepada mereka? Kasihan? Tak tega? Atau takut? Mungkin tiga-tiganya. Memandang wajah yang memelas (apalagi nenek2 atau anak2) memang sering membuat kita tersentuh. Memandang wajah sangar dan menyeramkan memang sering membuat kita takut. Dan akhirnya kita ‘terpaksa’ memberi uang sekedarnya. Kepekaan perasaan dan ketakutan kita akhirnya dimanfaatkan oleh mereka untuk mendapatkan uang. Hal ini terjadi terus menerus dan berakibat membesarnya komunitas ini.

Lalu apa kita harus tega? Apa kita harus berani menolak? Jawabannya YA!!!
Apa kita lantas akan jadi ‘orang jahat’ kalau tidak memberi? Well, kalau mau memberi, banyak kok lembaga profesional yang bisa membantu menyalurkan. Panti asuhan, dompet dhuafa, dompet peduli, dll. Bayangin aja kalo tiap hari ngeluarin 500 perak tiap perempatan. Sehari ada 2 perempatan. Udah seribu. Sebulan 20 ribu. Setahun 240 ribu. Kalo ada seribu orang di Jakarta, sudah 240 juta rupiah yang disumbangkan. Uang segitu bisa dipake buat banyak hal untuk kepentingan para tunawisma ini.

Seperti hukum demand-supply, kalau tidak ada lagi yang mau memberikan uang kepada mereka, maka lama kelamaan tidak akan ada lagi yang memilih ‘profesi’ itu. Ngapain panas-panas dan ujan-ujan seharian di perempatan dan gak dapet apa2. Pasti mereka akan berpikir ulang. Mudah2an sih mereka akan memilih untuk mengikuti program pemerintah untuk meningkatkan ketrampilan sehingga bisa bekerja dengan penghasilan yang layak.

Btw, mendingan bawa roti di mobil. Jadi kalo bener2 ngga tega liat anak2 yang keujanan itu, kasi roti ajalah. Jadi gak bisa disetorin ke ‘boss’-nya.

2 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s