Holiday is all about doing silly things
-Sebuah catatan yang tertinggal dari negri Cina-
(written: Thursday, June 9, 2011)
Akhir Mei sampai awal Juni kemarin gue liburan ke Cina bareng temen gue. Tapi cuman ke Beijing & Shanghai aja. Itinerary tour kita atur sendiri, jadi yang dibantu oleh tour guide hanya beberapa tempat2 utama saja, sisanya free jalan2 kemana aja kita mau. Niatnya sih exploring Beijing-Shanghai, walaupun akhirnya banyak kesasarnya. Berikut ini adalah beberapa kesan yang gue dapat disana.
Bayangan gue tentang Beijing adalah kota yang suram, tak berwarna, dan ekspresi wajah penduduk yang depresi. Well, ternyata tidak terlalu benar dan tidak terlalu salah. Suasana kota memang masih cukup suram. Bangunan masih banyak yang berwarna coklat dan abu2. Namun penduduknya cukup ramah, banyak senyum, dan cukup moderat (terutama pakaian dan gadget). Banyak bangunan tua berbentuk tradisional tersebar di tengah kota. Toko, restoran, dan (tentu saja) bekas istana kaisar Cina.
Saat memasuki kota Beijing, kesan bersih langsung terasa di penjuru kota. Jalanan, halaman rumah, kantor, toko dan hotel, serta tempat2 wisata. Warga cukup disiplin dalam menjaga kebersihan. Namun khusus untuk toilet, memang dimanapun tempatnya di Beijing, selalu beraroma aduhai. Mungkin impact dari tidak tersedianya cukup air di musim panas tahun ini. Kenapa jalanan kok bisa begitu bersih ternyata terjawab di hari kedua. Pas lewat suatu jalan, terlihat ada mobil penyapu (dan penyikat) jalan. Pantas jalanan bisa bersih banget.
Berbeda dengan masalah kebersihan, dalam hal kedisiplinan di jalan raya, warga Beijing sama saja dengan warga Jakarta. Orang2 menyeberang jalan seenaknya saja, padahal di semua persimpangan jalan selalu tersedia lampu lalu lintas yang menyala (kalo di Jakarta kan banyak yang mati hehehe). Sopir juga banyak yang nyetir ugal2an, walaupun masih kalah jauh dengan sopir metromini dan bajaj di Jakarta. Kesadaran menggunakan safety belt masih rendah. Pengemudi taksi pun tidak menggunakan safety belt ini. Padahal ada.
Transportasi umum di Beijing sangat luar biasa. Dari taksi, bis kota, subway, ricksaw (semacam becak yang ditarik manusia), sampai kendaraan serupa bajaj yang penumpangnya duduk menghadap belakang. Schedule keberangkatan sangat banyak, sehingga tidak perlu menunggu lama. Tarifnya sangat murah. Sebagai gambaran, naik subway dari ujung ke ujung cuma 2 Yuan (kurang dari 3000 rupiah). Naik bis Cuma 1 Yuan. Naik taksi tarif pertama cuma 10 yuan dan naiknya cukup pelan. Kondisi transportasi umum itu juga bersih dan terawat. Polusi tidak terlihat di jalanan. Langit cerah dan udara masih segar walaupun cuaca panas.
Walaupun penduduknya sekitar 23 juta, namun padatnya penduduk tersebut tidak terasa. Jalanan terlihat lengang, halte bus, mall, dan perkantoran juga tidak terlalu ramai. Bahkan di daerah CBD. Bandingkan dengan kawasan Sudirman yang padat dengan orang dan kendaraan. Namun kalau sore memang banyak orang berkumpul di taman2 umum yang banyak tersebar di seluruh kota. Banyak sekali layang2 dinaikkan. Bentuk dan ukurannya pun berbagai macam. Seru juga nonton parade layang2 ini. Layang2 tersebut dinaikkan sampai malam lho, dan pada saat malam terlihat indah, karena dipasang lampu di sekeliling badan layang2 dan talinya. Terlihat seperti rombongan UFO di tengah malam. Oh iya, disini jam 7.30 malam masih terang lho, tapi jam 5.30 pagi sudah terang benderang. Mungkin karena bulan Mei-Juni matahari berada di atas kawasan Cina, jadi terang lebih lama. Di bawah ini foto jam 7.30 malam.
Penduduk Cina saat ini didominasi golongan usia tua. Orang2 tua ini kesepian karena anaknya (yang cuma satu) sudah dewasa. Dan untuk menemani, maka mereka memelihara anjing. Saat bercengkerama di taman kota, atau berjalan2 di sekeliling kawasan perumahan, anjing2 ini dibawa serta. Lucu2 deh. Hampir semuanya jenis anjing ras. Banyak yang ‘didandani’ dengan pakaian anjing dan accessoriesnya.
Oya, di Beijing orang sangat terbiasa dengan bersepeda. Jadi di jalan sudah dibuat jalur khusus pengguna sepeda. Di pinggir2 jalan juga disediakan tempat parkir sepeda yang praktis dan aman. Banyak juga yang menggunakan motor listrik, jadi ngga berisik seperti di Jakarta. Dan minim polusi. Mobil berbagai merk juga terlihat di jalanan. Dari merk Eropa, Amerika, Jepang, dan merk Cina sendiri. Kalo ngga salah mereka punya Buick, yang kerjasama dengan produsen mobil Jerman (lupa apa namanya).
Tempat wisata kebanyakan merupakan tempat wisata sejarah. Seperti kita ketahui, kekaisaran Cina sangat terkenal dan wilayahnya terbentang sangat luas di seluruh dataran Cina. Jadi peninggalan kekaisaran ini sekarang menjadi object wisata yang sangat indah dan sarat dengan nilai sejarah. Dari mulai Great Wall, Forbidden City, Temple of Heaven, Summer Palace, dan beberapa sisa2 taman kerajaan. Di setiap tempat wisata tersebut banyak kisah yang tampil ke permukaan. Dari kisah asmara para penghuni kekaisaran hingga kisah cinta tragis antara pekerja pembangun tembok besar dan istrinya.
Selain object wisata, tidak banyak yang bisa dikunjungi di Beijing. Mall-nya biasa banget. Jauh lebih mewah Plaza Indonesia atau Senayan City. Mall di Beijing memang besar tapi tidak terkesan megah dan mewah. Bahkan beberapa mall terlihat seperti department store murahan ala Jakarta. Padahal brand yang dijual cukup punya nama. Barang2 yang dijual menurut gue tidak berbeda dengan di Jakarta. Bahkan beberapa item lebih bagus di Jakarta. Harganya pun tidak berbeda jauh. Mall2 ini kebanyakan sepi. Beberapa coffee shop seperti Starb*ck memang terisi oleh orang2, namun tidak terlalu ramai. Oya, cewek2 di Beijing sekarang bodynya tinggi2, walaupun dari segi wajah ngga terlalu cantik, lebih cantik cewek2 di Senayan City J
Orang2 di Beijing cenderung tertutup. Namun pada dasarnya mereka ramah jika dimintai tolong. Ada suatu malam dimana gue jalan kaki untuk hunting makanan lokal sampai ke gang2 di kampung penduduk dan akhirnya kesasar ngga tau jalan pulang ke hotel. Padahal gue tau banget itu ngga terlalu jauh dari hotel, jadi males aja kalo harus naik taksi. Akhirnya nekat jalan kaki sambil bawa peta hotel (yang gambar jaraknya suka bohong) dan tanya2 ke orang2 di jalan. Hampir semuanya tidak bisa berbahasa Inggris, namun hampir semuanya memasang wajah ramah, tersenyum, sambil mencoba memberikan keterangan arah jalan ketika gue menunjukkan alamat hotel di peta. Berdasarkan keterangan2 itu gue coba jalan terus. Dan akhirnya nyampe juga di hotel. Ternyata gue udah nyasar cukup jauh dari hotel hehehe. Kalo orang2 di jalan rata2 ramah, beda dengan pelayan restoran. Entah memang mereka terbiasa atau karena ngga ngerti bahasa, rata2 pelayan2 resto di Beijing ini judes. Naruh makanan di meja aja kadang2 bisa nyiprat. Sendok pernah jatuh. Mukanya juga minta ampun judesnya. Padahal kan kita bayar. Ya udahlah ambil positifnya aja, emang begitu kali kebiasaan disitu, atau gajinya kekecilan hahahaha. Oya, di Beijing polisinya banyak dimana2. Mungkin karena ibukota, jadi kesannya harus dijaga terus. Polisi2 ini beneran berdiri seperti patung, ngga bergerak kecuali kepalanya noleh ke kiri dan ke kanan dalam selang waktu tertentu. 2-3 jam sekali posisi dirotasi.
Ngomong2 soal makanan, bayangan gue tadinya makanan Cina akan seenak makanan Cina di Jakarta. Gue udah ngebayangin capcay, ayam goring mentega, mi goreng, mi ayam Babah Tong. Eh, ternyata makanan di Beijing hampir ngga ada rasanya. Ngga berani bumbu. Kalopun ada yang berani bumbu, suka kebanyakan, jadi rasanya ancur gak karuan. Dari mulai makanan hotel (breakfast), sampai makanan resto, sampe makanan pinggir jalan, semua sama aja, ngga enak. Bayangin aja, nasi goreng warnanya kuning cerah, cuman dimasak sama telor dan sedikit daun bawang plus kacang kapri. Gak pake bumbu lain. Untung bawa saos sambel dari Jakarta, jadi semua rasa bisa diperbaiki hahahaha. Tapi karena niat berburu makanan enak, gue berusaha ngga mampir ke KFC atau McDonald (eh mampir sekali, abis burgernya McD disini ada yang pake babi sih hehehe). Oh iya, jangan kuatir, disini makanan halal gampang dicari dimana2. Di hampir semua penjuru jalanan yang ada jual makanan, selalu ada resto yang jual makanan muslim, jadi halal semua.
Ohya, di Shanghai gue nemu makanan serem. Kalajengking, kelabang, kumbang, kepompong ulat, dll. Semuanya dipajang dalam keadaan hidup. Kalau kita beli, baru dibakar/digoreng sama yang jualan. Pengen nyobain tapi akhirnya gak berani juga hahahaha.
Tapi bukan berarti ngga ada makanan enak di Beijing. Mumpung ke Beijing, gue nyobain the famous Peking Duck itu. Walaupun harganya termasuk ‘selangit’, tapi rasanya……HEAVEN!!! Jadi bebeknya dipanggang (roasted duck) sampai kulitnya renyah gitu, trus diiris2 sebelum disajikan. Cara makannya, potongan daging bebek diletakkan di semacam kulit lumpia, lalu diberi irisan daun bawang dan diberi saus lalu digulung bak lumpia. Baru dimakan. Asli enak bener. Mirip makan bebek di beberapa resto roasted duck di Jakarta, tapi ini jauh lebih enak.
Kebiasaan orang Indonesia kalo jalan2, selalu bawa souvenir. Nah, hunting souvenir ini jadi acara seru juga lho. Karena gak mau kalo harus beli di toko souvenir yang mainstream, maksudnya di lokasi wisata atau toko besar. Gak bisa ditawar, dan rata2 harganya mahal banget. Jadi huntingnya ke toko2 kecil, emperan, pedagang kakilima, dan gang2 kecil di tempat wisata. Kadang2 bisa dapetin barang bagus yang gak ad adi toko mainstream, dan serunya, bisa nawar gila2an. Namanya juga toko kecil, jadi mereka yakin bahwa harga akan ditawar oleh turis. Jadi mereka di awal memberikan harga sampai tinggi sekali, bahkan bisa 2-3 kali lipat harga di toko mainstream. Tapi namanya nawar, ya nekat aja. Barang harga 150 yuan bisa dibeli dengan harga 15 yuan saja (di toko besar harganya 50 yuan), barang2 kecil harga 20 yuan bisa dibeli dengan harga 3-5 yuan (di toko besar harganya 10 yuan), dst. Nawarnya harus berani. Jangan nawar separo harga doang. Pasti langsung dikasi. Kalo nawar sekalian 10% dari harga awal. Nanti nego2 aja. Dan jangan langsung naikin penawaran. Pergi aja dulu ke tempat lain, siapa tau bisa dapet dengan harga yang kita mau. Biasanya kalo kita mau pergi, si penjual akan langsung nurunin harga secara drastis. Tips: untuk tau berapa kisaran harga yang pas, sebaiknya survey dulu ke toko2 besar. Nanti kita pas beli di toko kecil tawar aja di bawah harga toko besar. Eh, kalo belanja di toko besar kita ngga dikasi plastik lho, pas kita minta mereka bilang itu tambahan cost, dan gak mau ngasi. Gila, pelit amat. Padahal di toko kecil kita dikasi plastik gede aja gitu.
Di Beijing & Shanghai gue dapat 2 tour guide yang berbeda. Dan dua2nya pernah belajar bahasa Indonesia selama setahun. Cukup lancar sih, tapi agak terlalu baku bahasanya. Maklumlah, gurunya adalah imigran asal Indonesia yang migrasi ke Cina tahun 60-an. Yaeyalah bahasanya kaku banget. Untuk mengimprove bahasanya, biasanya mereka belajar dari tamu2 yang mereka guide. Guide di Beijing namanya Koni, umur 25 tahun. Ibunya orang Cina Samarinda. Dia suka banget sama Indomi hehehe. Guide di Shanghai namanya CingCing, umur 47 tahun, suka banget sama lapis legit hehehe. Dua2nya sudah pernah ke Indonesia. Kalo Koni suka Bali, CingCing suka Yogya. Oya, dua2nya suka ke mangga dua hahahaha
Oya, gue blom cerita soal Shanghai. Shanghai adalah kota terbesar kedua di Cina setelah Beijing. Kalo Beijing kota sejarah dan kota pemerintahan, maka Shanghai adalah kota perdagangan, industri dan pelabuhan. Shanghai jauh dari laut, tapi ada sungai besar mengalir di tengah kota, namanya sungai Huangpo. Sungai ini menjadi sentra pelabuhan kota ini. Di belahan kota yang satu terdapat kota lama. Di kota lama berdiri bangunan2 kuno ala Eropa sisa2 pendudukan Inggris. Sementara di kota baru berdiri bangunan2 baru, gedung2 pencakar langit, termasuk Oriental TV Tower yang jadi ikon Shanghai saat ini. Kalau malam ada acara cruise dengan menggunakan kapal berlampu meriah menyusuri sungai Huangpo. Malam hari semua gedung di sepanjang sungai menyalakan lampunya, sehingga terlihat menawan, mirip Victoria Bay di Hongkong.
Di pinggiran sungai Huangpo ini dibangun semacam taman kota yang dipenuhi oleh warga dan turis di sore-malam hari. Namanya The Bund. Menyusuri The Bund, kita akan dibawa menyusuri sejarah Shanghai lama di sebelah kanan kita dan peradaban Shanghai baru di sebelah kiri (seberang sungai). Gedung2 tua tetap terawat dengan baik menyisakan sejarah lama sementara peradaban baru seolah berlomba2 mengembangkan diri dengan munculnya gedung2 tinggi yang seakan tidak berhenti bertumbuh.
Sayangnya, sebagai kota industri, menurut gue Shanghai cukup tinggi tingkat polusinya. Hampir setiap hari kota terlihat berkabut. Padahal cuaca tidak dingin. Jalanan juga tidak terlalu macet (lebih macet Beijing)
Kehidupan di Shanghai memang sudah sangat modern. Dan bebas. Di hotel, di pusat wisata, di pusat perbelanjaan, di mall, di subway, banyak orang menawarkan wanita untuk massage atau sekedar menemani sambil menunjukkan foto2 seksi. Bahkan di Nanjing Street, salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Shanghai, ada beberapa wanita yang menawarkan diri, terlebih lagi kelau melihat penampilan kita yang bukan orang lokal. Terus terang ini agak mengganggu sih.
Hari terakhir pas maunke airport gue naik maglev, salah satu kereta api tercepat di dunia. Kecepatannya sampai 431 km/jam. Dari tengah kota Shanghai ke airport dengan jarak sekitar 30 km ditempuh dalam waktu 7 menit saja.
Oya, dimanapun itu, ada 3 benda yang selalu gue bawa kemanapun dan gue periksa sesering mungkin. Yaitu dompet, paspor dan ponsel. Itu nyawa kedua gue selama di Cina. Jangan sampai hilang atau tertinggal di hotel.
I dont find any silly thing here.. Huh!
LikeLike
Cari dong, jangan mainstream meluluk :p
LikeLike
Sukak!!!!
LikeLike
mupeng berat!
LikeLike
Keren!
LikeLike
mau tnya dpet tour guide di beijing dr mana ya? ad kontaknya ga. mksh
LikeLike
Dapatnya pas sekalian ngurus dari Jakarta. Coba googling Jatra Tour
LikeLike
Om Bernard, nanya dong.
Untuk Toilet di Shanghai dan Beijing separah apa emangnya? Saya kebetulan mau ikut Tour ke sana.
Dan kira2 bakal nyaman ga buat ibu hamil?
Thank you 🙂
LikeLike
Parah banget sih ngga, tapi kalo lagi summer kan emang air susah jadi baunya agak aduhai. Bawa tissue basah aja. Tapi kalo di hotel atau di mall sih nyaman-nyaman aja kok
LikeLike