Aku tak pernah suka lagu ini.
(written: Monday, April 4, 2011)
Aku tak pernah suka lagu ini. Tapi semua orang menyanyikannya hari ini. Yah, terpaksa aku ikut saja. Lagipula tak mungkin aku diam saat semua orang bernyanyi.
Kulihat di sudut sana kekasihku mengusap matanya beberapa kali. Dia tak ikut bernyanyi kurasa. Jangankan bernyanyi, berdiripun dia tampaknya tak mampu. Aku cinta dia. Dialah alasanku bertahan sekian lama. Tak tahan rasanya melihatnya seperti itu. Tapi apa boleh buat, aku tak bisa kesana dan memeluknya. Aku harus disini dan bernyanyi bersama semua orang.
Di depanku kulihat ibuku. Dia biasanya cantik. Tapi hari ini tidak. Rambut ikalnya yang masih tampak hitam legam itu tampak berantakan. Wajahnya tiba-tiba tampak lebih tua beberapa tahun, dan hey….senyumnya menghilang. Ah senyumnya itu. Yang mampu melelehkan kekerasanku. Yang mampu membuatku melupakan kekecewaan dalam hidupku. Yang mampu meredam amarah di dalamku. Ah, rasanya ingin aku menghiburnya, menghapus airmatanya. Tapi sudah ada ayahku disitu memeluknya.
Ah ayahku. Sosok pria itu begitu kukagumi. Sorot matanya begitu dalam, kata orang kita bisa tenggelam dalam tatapannya. Tapi tidak hari ini. Walaupun dia terlihat tegar memeluk ibuku, tapi tatapannya begitu sayu, begitu sedih, begitu putus asa. Seolah-olah cahaya kehidupan direnggut begitu saja dari dalamnya.
Di seberang sana kulihat kedua adikku duduk berdampingan. Masing-masing memeluk buah hatinya, keponakan-keponakan kecilku. Walaupun ibunya tampak sangat berduka, tapi keponakan-keponakanku tetap terlihat riang. Bercanda dan saling menggoda. Yang satu menatap ke arahku dan tersenyum padaku. Aku memberi tanda agar dia diam dan menurut pada ibunya. Dan dia menurut. Ah malaikat-malaikat kecilku.
Adik-adikku selalu seperti berjalan di jalan gelap. Dan aku menikmati peranku sebagai pelita yang menerangi jalan mereka. Berbincang dengan mereka rasanya takkan ada habisnya. Dan mereka selalu bertanya padaku mengenai segala hal. Pendapatku selalu jadi pertimbangan utama saat mereka harus mengambil keputusan. Pendidikan, pekerjaan, bahkan pernikahan. Oya, kami suka karaoke bersama. Lagu-lagu konyol kami nyanyikan sambil berteriak-teriak tanpa nada pasti. Dan selalu berakhir dengan tawa. Kali inipun kami bernyanyi bersama, namun tak ada teriakan disini, hanya gumaman tanpa makna. Tak ada juga tawa hanya isak tertahan yang terasa di udara.
Oya, aku lupa abangku. Dia ada di sebelah ayahku. Mungkin hanya dia dan aku yang masih mampu bernyanyi dengan baik. Tapi sama saja seperti ayahku, tampang kerasnya tak terlihat sama sekali. Malah terlihat pucat seperti tak berdarah. Abangku orang yang keras, sama sepertiku. Kata orang, kami bertiga, ayahku, abangku dan aku sama kerasnya. Namun tak seperti aku dan ayahku yang cocok hampir di semua hal, dengan abangku aku tidak cocok hampir di semua hal. Waktu kecil kami selalu berdebat tentang apapun. Dan seperti diatur, apapun yang disukai abangku pasti tak kusukai, begitu pula sebaliknya. Dan seumur hidup kami cuma sepakat dalam satu hal, yaitu sepakat untuk tidak bersepakat. Tapi aku tahu, dia menyayangiku. Tapi memang dia menyayangiku dengan caranya sendiri. Beberapa temannya pernah bercerita padaku bahwa dia selalu membanggakanku di depan mereka. Ranking kelasku yang tak pernah lepas dari 5 besar selalu dipamerkannya pada mereka. Aku pun bangga padanya. Walaupun nilai-nilai pelajarannya tak cemerlang, tapi diam-diam dia selalu jadi role modelku. Kegiatannya yang macho selalu ingin kuikuti, walaupun tak pernah bisa. Sepakbola, naik gunung, rally sepeda, bahkan merokok.
Ah sudah lama kami tak berkumpul seperti ini. Namun aku hanya ingin bersama mereka. Tanpa kehadiran ratusan orang seperti ini dan menyanyikan lagu ini.
Aku tak pernah suka lagu ini. Tapi semua orang menyanyikannya hari ini. Sambil bernyanyi, kusapukan pandanganku ke seluruh ruangan. Kulihat kembali wajah-wajah yang mengisi hidupku selama ini. Ah, terlalu cepat rasanya semua berlalu…