Menikmati Desa Sade di Lombok


Mempelajari kebudayaan yang berbeda sungguh merupakan keasyikan tersendiri buat gue. Apalagi bisa mengunjungi dan mendengar langsung dari sumbernya. Karena itulah gue sangat excited saat mendapat kesempatan mengunjungi Desa Sade, salah satu desa tradisional suku Sasak di Lombok. 

Desa seluas kurang lebih 5 hektar yang masih mempertahankan hampir seluruh budaya aslinya ini sekarang dihuni oleh sekitar 700 orang. Sekitar 150 rumah yang ada di desa ini masih berbentuk rumah tradisional suku Sasak yang beratapkan alang-alang yang dikeringkan. Lantai di dalam rumah dibuat dari tanah liat yang dikeraskan. Cara membersihkannya sangat unik, yaitu dipel menggunakan kotoran kerbau. Menurut mereka, kotoran kerbau bisa membuat lantai menjadi lebih padat dan menghilangkan debu. Beberapa saat setelah dibersihkan memang bau kotoran kerbau masih terasa namun berangsur-angsur menghilang. Pada saat gue ke sana udah gak ada bau kotoran sama sekali sih. Ada lagi yang unik dari rumah ini. Kamar bagi anak gadis diletakkan di bagian belakang rumah agak naik ke atas (semacam loteng). Hal ini dimaksudkan agar anak gadisnya gak gampang diculik. Di bawah ada penjelasannya πŸ˜€.

Hal unik lainnya adalah seluruh penduduk desa saat ini masih ‘darah murni’ karena mereka melakukan pernikahan dengan anggota keluarga sendiri (antar sepupu). Hal ini berkaitan dengan mahar yang mahal yang harus dibayarkan jika menikah dengan orang di luar desa. Mahar berupa 1-2 ekor kerbau masih dianggap mahal sehingga sampai saat ini masih dihindari. Hal menarik lain tentang pernikahan adalah tradisi menculik calon mempelai wanita sebelum dinikahi. Jadi si wanita dilarikan keluar desa tanpa sepengetahuan orangtuanya. Gak boleh dilamar baik-baik karena akan dianggap menghina orangtua si wanita. Gimana kalo ketahuan? Si pria akan dikenai hukuman. Ada dua type penculikan. Si wanita memang sudah berpacaran dengan si pria, sehingga lebih mudah diajak bekerjasama untuk ‘diculik’, atau si wanita belum berpacaran dengan si pria, sehingga membutuhkan effort yang besar untuk melarikannya. 

Mata pencaharian penduduk setempat adalah bertani. Namun karena hanya mengandalkan hujan (sawah tadah hujan), maka hasilnya tidak dijual melainkan disimpan dan digunakan untuk keperluan sehari-hari. Selain bertani, kaum wanita juga melakukan pekerjaan menenun yang hasilnya dijual untuk memenuhi kebutuhan lain. Bahkan kaum wanita sudah diajar untuk menenun sejak usia 9 tahun. Hal ini penting karena setelah menikah kelak mereka tidak boleh bekerja di luar dan hanya diijinkan mencari nafkah dengan menenun saja. 

Generasi tua di desa ini masih sulit berbahasa Indonesia karena memang tingkat pendidikan yang rendah. Sementara generasi sekarang lebih maju karena sudah bersekolah. Konon sudah ada yang sampai kuliah, walaupun sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Bahasa asing didapatkan secara otodidak melalui turis-turis yang mengunjungi desa ini. Walaupun sudah ada kemajuan, namun menurut pemandu sampai sekarang belum ada warga desa yang menjadi ‘pegawai’.

Perjalanan mengunjungi desa Sade ini sangat menyenangkan. Penduduknya ramah, desanya unik, hasil tenunannya indah dan harganya relatif gak mahal. Jadi kalo sedang berkunjung ke Lombok rasanya wajib mampir di desa ini. 

Desa Sade

Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah

11 comments

  1. Mengenai kotoran sapi yang digunakan untuk melapisi rumah itu aku pernah dengar. Nah yang kamar gadis aku baru tahu.

    Seneng pas baca bagian penduduknya ramah. Aku selalu ngebayangin kalau mereka jual kain gitu, ditawar-tawar sama pembeli trus mereka marah haha. Jika ternyata nggak, syukurlah. Beberapa temen kalo jalan properti fotonya kain dari Desa Sade ini. Cakep-cakep banget. Semoga bisa main ke sana nanti. TFS bang.

    Like

  2. Pernah nanya gak, kalau orang luar yang kebetulan berpacaran dengan anak gadis desa ini, trus mau ‘nyulik’, itu bisa dinikahkan atau justru ditolak oleh pihak keluarganya? πŸ˜€

    Like

Leave a comment