Aku tak pernah menyadari bahwa kaulah duniaku sampai langit runtuh menimpaku. Langit yang bernama penyesalan. Dan bodohnya, akulah yang telah sengaja menariknya dari tempatnya menggantung hingga dia jatuh menghancurkan egoku menjadi puing-puing berdarah dan basah kuyup oleh airmata. Ya, aku sekarang telah menyadarinya. Terlambat memang. Kata orang, penyesalan dan duka akan menghilang dengan sendirinya ditelan waktu. Namun aku curiga, sang waktu pun telah berkhianat padaku. Dia ikut memusuhiku sekarang. Waktu justru membuat penyesalan dan dukaku kian dalam. Dan pertanyaan demi pertanyaan berputar cepat di dalam kepalaku. Andai ini dan andai itu semakin menyiksaku.
———————————-
Desember 1998
“Kamu kenapa sih, Nin?” Matanya menatapku penuh pertanyaan.
“Apanya yang kenapa?” Aku tetap menunduk. Mengangkat muka hanya akan membuat dustaku terlihat lebih jelas.
“Tiba-tiba kamu ingin putus. Ada apa sebenarnya?”
Aku menarik nafas panjang dan akhirnya mengangkat muka. Menatap lurus ke bola matanya. Aku berusaha sebaik mungkin untuk menghilangkan riak di wajahku.
“Aku mau konsentrasi, Ar. Kuliah ini sudah tidak seperti saat kita masih di SMA. Aku butuh lebih banyak waktu untuk memikirkan tugas-tugas kuliahku. Aku tak mau kau merasa menjadi prioritas kedua. Jadi perpisahan akan jadi keputusan yang lebih baik saat ini.”
“Kan kita bisa atur jadwal sama-sama, Nin. Toh kita tidak akan seharian penuh di kampus.”
Aku mengeraskan hatiku dan menggeleng sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Perlahan aku melihat sinar di matanya meredup. Ardi menatapku lalu berdiri dan berlalu dari hadapanku.
Hari-hari berikutnya aku jarang bertemu dengannya. Sepertinya dia menghindar dariku.
Juli 2001
“Aku sibuk, Don.”
“Tapi masa kau tidak punya waktu untuk bertemu denganku sekalipun?”
“Ini kan aku bertemu denganmu”
“Iya, setelah aku mencarimu seharian dan meneleponmu seribu kali.”
Wajahku tetap tenang. Bahkan cenderung dingin. Dan tiba-tiba Doni seperti tersadar.
“Kau sengaja menghindariku, Nin. Ada apa sebenarnya?”
Aku merasa tak mungkin lagi menyimpannya lebih lama. Dan sepertinya ini saat yang tepat.
“Aku mau kita putus.” Aku meledakkannya tepat di depannya.
“Aku sudah mengira. Kenapa? Kau bosan denganku?”
Aku hanya menggeleng dan berdiri.
“Selama ini kita tinggal menunggu waktu saja, Don.” Lalu aku berlalu dari hadapannya.
Hatiku perih saat mengucapkannya, namun ini semua harus dihadapi.
Sejak itu kami berhenti berkomunikasi. Sepertinya dia benar-benar marah padaku.
November 2006
“Aku mau kita putus, Jal.”
Lampu temaram di kafe itu tak mampu menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Namun Rizal tak berkata apa-apa. Wajahnya kembali tenang. Aku meneruskan.
“Hubungan ini sudah tidak sehat. Aku mulai merasa tidak nyaman bersamamu. Kau memperlakukanku seperti tahanan perang. Semua kau atur.”
Aku melihat wajahnya, mencoba mencari penyesalan di dalamnya. Namun wajahnya tetap datar. Tak terbaca. Sementara itu di luar langit masih menumpahkan hujan dengan derasnya.
“Kau tidak pernah mengeluh sebelumnya. Sekarang tiba-tiba kau minta putus dengan alasan itu. Apakah benar itu alasannya, Nin?”
Matanya menatap tajam tepat ke mataku. Mencari-cari jawaban atas keputusan yang sangat mendadak ini. Aku menunduk, tak mampu melawan tatapannya yang menuntut jawaban.
“Baiklah kalau itu memang kemauanmu. Apapun alasannya. Aku tak akan bisa memaksamu, Nin. Ayo, biar kuantar kau pulang sekarang”
Dia mengantarku pulang sampai ke depan pintu rumahku, dan setelah berpamitan pada kedua orang tuaku yang memandang kami berdua dengan tatapan penuh pertanyaan, dia segera berlalu dari depanku. Dari kehidupanku.
———————————–
Andini, sahabatku sejak kecil, adalah satu-satunya orang yang tidak pernah protes tentang apapun yang kulakukan. Dia selalu mendukungku. Namun khusus untuk satu hal ini dia orang nomor satu yang menentangku habis-habisan.
“Apa sih yang kau cari, Nin? Kau anti pada komitmen?”
“Bukan begitu, Din.”
“Lalu apa? Semua yang kau tinggal pergi adalah laki-laki baik. Mereka tidak punya kesalahan sekecil apapun. Tapi kau pergi begitu saja. Dan jangan cerita soal alasan-alasanmu itu. Aku tahu itu semua dusta”
Aku tak pernah bisa berbohong tentang apapun di depan Andini. Dia terlalu mengenalku.
“Aku takut, Din. Aku takut kalau aku terlalu mencintai mereka. Aku takut ditinggalkan. Aku takut suatu saat cinta mereka akan mati dan mereka akan bosan padaku. Aku tak ingin ditinggalkan. Walau menyakitkan aku lebih baik meninggalkan mereka lebih dulu. Paling tidak, aku bisa menyiapkan hatiku lebih dulu.”
“Tapi sampai kapan, Nin?”
“Jika mereka memang untukku, pasti mereka akan menemukanku lagi kelak”
Semua berubah saat aku bertemu kau 2 tahun lalu. Kita bertemu saat aku pindah ke kantor baru ini. Kebetulan kita satu gedung. Setelah beberapa kali berpapasan di lift, akhirnya kau menyapaku dan kita pun berkenalan. Sejak itu makan siang menjadi agenda kita bersama tiap hari. Dan lama kelamaan makan siang berubah menjadi makan malam. Kemudian jadwal pertemuan kita bertambah di akhir pekan. Semua mengalir begitu saja dan tanpa kita sadari kita telah jatuh cinta. Memang mencintaimu begitu mudah bagiku. Kau yang lembut, bersahaja, dan penuh pengertian memikatku dengan begitu mudahnya.
Dan ketakutan itu datang lagi menghantuiku. Aku terlalu nyaman bersamamu. Aku takut kau bosan padaku. Aku takut cintamu berakhir. Aku takut kau tinggalkan. Aku tahu aku tak akan pernah siap. Dan seperti biasa, ketakutan selalu datang sepaket bersama dengan kebodohan. Setelah dua tahun kita bersama, akhirnya aku harus mencari alasan untuk meninggalkanmu. Sulit. Karena aku tak akan pernah punya alasan yang cukup untuk itu. Tapi aku harus. Jadi aku memutuskan untuk pindah kantor. Bodoh memang.
“Kita tak bisa meneruskan ini, Ed. Aku yang tak bisa.”
“Aku tak mengerti, Nin. Kan kantor barumu masih di Jakarta juga. Apa yang membuatmu tak bisa meneruskan hubungan kita ini?”
“Kita akan selalu berjauhan. Kita tak akan punya waktu banyak untuk bersama-sama lagi. Dan aku tak bisa, Ed. Tolonglah mengerti”
“Mengapa aku yang harus mengerti? Apa yang salah, Nin?”
Aku hanya terdiam. Aku tak sanggup menjawabnya. Aku hanya ingin tiba-tiba menghilang di depan matamu.
“Paling tidak, beri penjelasan padaku, Nin.”
Aku tetap diam.
“Tolong tatap mataku, dan katakan bahwa kau tidak lagi mencintaiku, Nin.”
Aku tetap diam, tak mampu menatap matanya. Kau menghela nafas panjang. Sambil memegang tanganku kau kembali berkata.
“Aku mencintaimu, Nin. Entah apa yang terjadi dengan dirimu, tapi aku yakin kau juga mencintaiku. Mungkin kau belum yakin. Tak apa, aku akan menunggumu. Saat kau sudah yakin atas cintamu padaku, kembalilah padaku, Nin. Ingat, aku masih menunggumu”
Lalu kau berlalu dari hadapanku. Namun sosokmu tak pernah benar-benar menghilang dari hatiku. Aku terlalu mencintaimu. Terlalu. Hingga membuatku begitu takut kautingggalkan. Dan betapa bodohnya, sekarang justru aku yang meninggalkanmu. Tak apa, jika memang kau benar-benar mencintaiku, kau akan menungguku seperti janjimu. Kau akan kembali padaku.
———————————
Andini kembali menjadi tempatku berkeluh kesah. Namun kali ini dia tak menyalahkanku. Kurasa dia sudah mulai mengerti diriku. Dia hanya mengingatkanku bahwa waktu tidak berhenti berputar, umurku akan semakin bertambah, dan pilihanku akan semakin terbatas. Aku sendiri tak pernah memikirkannya. Aku selalu berpendapat bahwa segala sesuatu akan ada waktunya yang terbaik.
Setelah kejadian itu, hidupku kembali normal walaupun tak pernah benar-benar tenang. Hati dan otakku kadang masih memikirkanmu. Namun hidup harus terus berjalan, bukan?
Sampai setahun kemudian, pada suatu malam aku tiba-tiba terbangun dari mimpi dengan mata basah. Kau mendadak hadir di mimpiku. Disana kulihat kau datang padaku dan mengulurkan tanganmu padaku. Wajahmu terlihat penuh kerinduan. Entah mengapa tiba-tiba aku menangis. Mungkin menyesali keputusanku, mungkin juga rindu padamu. Tepat saat kau hendak memelukku, seseorang menarikmu dan aku terbangun. Dan saat aku terbangun semua terasa nyata. Tiba-tiba aku rindu padamu. Mudah-mudahan ini bukan pertanda buruk.
Paginya aku mencoba mengirim SMS padamu sambil berharap kau tak mengganti nomormu. Dan kau langsung meneleponku saat menerima SMS itu dan mengajakku bertemu. Kau bilang kau rindu padaku. Kebetulan yang menyenangkan. Kau bilang kau memimpikanku juga semalam. Mungkin bila memang dua hati saling merindukan, bisa saja komunikasi terjalin lewat mimpi. Entahlah.
Sabtu siang akhirnya kita bertemu kembali di sebuah kafe di selatan Jakarta. Tempat kita dulu pernah melewatkan akhir pekan berdua. Saat pertama kali melihatmu, aku terkejut atas perasaanku sendiri. Aku tak sadar betapa rindu aku padamu. Dan saat aku melihat senyummu, rasanya seperti ada tabir terangkat dari mataku. Dunia lebih cerah dari biasanya. Langit lebih biru. Udara lebih hangat. Dan kau lebih tampan. Ah mungkin aku benar-benar mencintaimu. Dan aku bersyukur akhirnya aku sadar itu setelah berbulan-bulan kita berpisah. Kita bercerita panjang lebar tentang hidup kita beberapa bulan ini.
Pertemuan pertama kita berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Dan dalam waktu singkat kita kembali dekat. Belum sedekat dulu, tapi kita jadi sering bertemu sekarang. Tak apa, aku akan menikmati prosesnya. Dan sepertinya inilah jawaban atas keraguanku dulu. Kau benar-benar mencintaiku. Kau benar-benar menungguku. Kau benar-benar untukku. Kini aku yakin itu. Aku sudah membayangkan masa depan yang cerah bersamamu.
Namun segala yang berakhir indah memang hanya ada di dalam dongeng anak-anak. Dua minggu lalu saat aku sedang menghadiri acara kantor di salah satu hotel, kulihat kau sedang makan berdua dengan seorang wanita. Andini. Kalian terlihat sangat akrab. Kalian terlihat bahagia. Aku sungguh tak pernah menyangka. Entah apa yang harus kulakukan. Merebutmu darinya sungguh tak mungkin kulakukan. Dia sahabatku. Aku tak akan pernah menyakitinya. Membiarkannya bersamamu juga akan sangat menyakitkanku.
“Iya, Nin. Kami mulai dekat beberapa waktu setelah kalian berpisah tahun lalu. Dia menghubungiku untuk mengetahui kabar tentangmu. Dia sangat mencintaimu, Nin. Tapi dia akhirnya sadar bahwa memang kalian tidak ditakdirkan untuk bersama. Jadi dia mulai membuka diri. Dan kebetulan kami memiliki banyak kecocokan, jadi kami mencoba untuk mengisi satu sama lain.”
Kini aku harus melepaskanmu. Melepaskan mimpi-mimpiku. Melepaskan harapan akan masa depan bersamamu. Terasa lebih menyakitkan karena aku tahu akulah yang menyebabkan semua ini. Akulah yang meninggalkanmu saat itu. Akulah yang membebani diriku dengan ketakutan yang tak perlu. Dan perasaan menyesal ini terus menghantuiku karena aku juga tahu bahwa kau masih mencintaiku. Namun aku tak punya pilihan, aku tak mau menyakiti sahabatku. Penyesalan ini mencabik-cabik hatiku, membunuhku pelan-pelan dari dalam. Ah, andai saja…