Ibu Rumah Tangga
(written: Wednesday, January 4, 2012)
Tin..tin…Terdengar bunyi klakson mobil dari halaman rumah. Aku buru-buru membuka pintu dan tersenyum menyambutnya.
“Mas, kok udah pulang?”
“Iya, pulang bentar aja. Nanti siang ke kantor lagi terus ada urusan di Senayan sampe malam”
Aku memandangi raut wajahnya yang terlihat lelah.
“Istirahat aja dulu, mas. Mau dibuatin teh manis?”
“Boleh deh. Kamu ngga ngantar Doni ke sekolah?”
“Ngga, mas. Doni lagi sakit. Tuh dari pagi belum bangun. Padahal udah disiapin sarapan dari tadi.”
“Ibu kemana?”
“Udah keluar rumah dari pagi. Tadi dijemput temannya”
“Oh ya udah. Aku ke kamar dulu ya,mau istirahat”
“Nanti teh manisnya aku letakkan di meja makan aja ya mas. Aku mau ke pasar dulu”
“Kamu mau dianterin?”
“Ngga usah, mas. Mas istirahat aja, kan nanti mau kerja lagi sampai malam.”
Setelah membuatkan teh manis untuknya, aku masuk ke kamar dan berganti pakaian. Kemudian segera berangkat ke pasar. Tadi Ibu bilang ingin makan gule kambing buatanku. Jadi aku terpaksa pergi ke pasar besar untuk membeli daging. Di pasar ujung jalan sana tidak ada daging kambing.
Dua jam kemudian aku sudah sampai lagi di rumah. Aku masuk ke kamar dan melihatnya masih tertidur lelap. Kelihatannya capek sekali. Jadi aku membiarkannya beristirahat dulu.
Aku masuk ke kamar Doni. Kulihat ia masih terlelap. Wajahnya terlihat pucat. Kusentuh dahinya masih terasa agak hangat. Kukecilkan AC dan membetulkan letak selimutnya. Lalu aku beranjak ke dapur dan mulai memasak. Kata Ibu, gule kambing buatanku rasanya tidak kalah dengan masakan restoran. Dia bilang kalo aku buka restoran sendiri pasti laku.
Tiba-tiba di belakangku terdengar suara batuk-batuk. Oh rupanya dia sudah bangun.
“Masak apa sih, heboh banget”
“Gule kambing, mas. Kok udah bangun?”
“Iya, mau mandi dulu. Jam 1 udah harus di kantor”
“Mau makan dulu sebelum berangkat?”
“Ngga usah, masih kenyang. Nanti aja makan di kantor. Malam sisain buat aku ya”
Sejam kemudian dia sudah bersiap-siap berangkat, saat sebuah mobil berhenti di depan rumah dan seorang wanita keluar dari dalamnya. Ibu.
“Mang Udin mau kemana?”
“Jemput Bapak ke kantor, Bu. Terus mau ke Senayan, katanya ada meeting sampai malam.”
“Tunggu sebentar ya, kamu anterin Ibu dulu ke arisan, kan sejalan sama kantor Bapak”
“Iya, Bu”
Sambil masuk ke rumah Ibu bertanya padaku,
“Marni, Doni sudah makan?”
“Belum, Bu. Den Doni masih tidur dari pagi”
“Lho gimana sih kamu, kok ngga dibangunin. Kan harus makan biar minum obat. Udah kamu bangunin dulu sana.”
Aku mengangguk dan berjalan menuju ke kamar Doni.
“Eh, gulenya udah mateng, ya? Saya mau bawa ke arisan. Pada nanyain tuh semua”
“Sebentar lagi, Bu. Masih kurang empuk dagingnya.”
“Udah pindahin aja ke panci yang biasa dulu. Nanti biar dilanjutin disana aja. Saya buru-buru ini”
“Iya, Bu”
Ibu bergegas ke kamar dan berganti baju. Sesaat kemudian terdengar suaranya memanggilku lagi.
“Marni, bilang sama Mang Udin berangkat aja duluan deh. Nanti Bapak marah-marah kalo terlambat dijemput. Nanti saya bawa mobil sendiri aja”
Aku bergegas keluar menemui mas Udin dan menyampaikan pesan Ibu. Ia tersenyum maklum dan segera menuju mobil. Setengah berbisik ia tersenyum padaku dan berkata,
“Sisain gulenya ya”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Aku memandangi punggungnya saat ia berjalan menuju mobil.
Setelah mobil bergerak menjauh aku masuk ke dalam rumah dan melanjutkan pekerjaanku untuk memindahkan gule ke dalam panci. Tak lupa kusisihkan sedikit untukku dan mas Udin. Dan setelah Ibu berangkat aku membangunkan Doni dan menyuapinya. Ia menangis sebentar mencari ibunya, tapi seperti biasa aku selalu bisa membujuknya. Ia memang lebih dekat padaku dibanding ibunya, maklumlah, aku yang mengurusnya sejak lahir, saat pertama kali aku mulai bekerja di rumah ini.
Setelah memberi obat dan menidurkan Doni, aku melanjutkan pekerjaanku menyetrika baju sambil menonton acara kesukaanku di televisi. Menunggu mas Udin pulang malam nanti.