Ayahku
(written: Wednesday, May 11, 2011)
Ayahku tahun ini berumur 63 tahun. Artinya tahun ini dia sudah 8 tahun pensiun. Secara fisik memang belum terlihat tua. Tapi secara psikis mungkin sudah berbeda jauh dengan pada saat masih aktif bekerja.
Dulu dia bekerja di sebuah instansi pemerintah (sekarang sudah jadi BUMN), dengan posisi yang biasa-biasa saja. Namun dengan mempertimbangkan tingkat pendidikannya yang hanya lulusan SMA, posisi itu menurutku sudah cukup tinggi baginya. Dia bekerja di bagian administrasi, jadi sangat terbiasa dengan form dan pekerjaan tulis menulis, baik tulis tangan maupun menggunakan mesin. Pada jamannya, seingatku dia menggunakan mesin ketik. Lalu lama kelamaan semua diganti menggunakan komputer. Dari mulai komputer generasi awal sampai ke generasi intel dan MS Office yang super canggih.
Aku masih ingat, dulu dia tidak pernah minta bantuanku atau bertanya tentang apapun dalam hal penggunaan komputer. Mungkin karena dia menganggap aku belum bisa, apalagi kami memang tidak punya komputer di rumah. Dia belajar sendiri atau melalui teman-temannya. Dan dia mampu bekerja dengan baik di kantor dengan hasil pelajarannya itu. Pada saat menjelang skripsi (tugas akhir), karena dianggap perlu maka aku dibelikan komputer oleh ayahku.
Pada awalnya ayahku sangat menyebalkan, dia menganggap dia jauh lebih tahu soal komputer daripada aku. Padahal di kampus aku sudah sering menggunakan komputer, baik di lab atau meminjam dari teman-temanku. Sering kami berdebat panjang karena aku memiliki cara sendiri dan ayahku bertahan dengan caranya sendiri. Dan sikap ‘sok tau’ ini (menurutku) sangat menyebalkan. Tapi akhirnya lama-lama dia sepertinya mengerti dan tidak mencampuri lagi pada saat aku menggunakan komputer.
Akhir-akhir ini, beberapa tahun setelah ayahku pensiun, dia mencoba menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan organisasi. Dan (lagi-lagi) kebagian untuk mengurusi masalah administrasi. Laporan, undangan, surat menyurat, dsb. Dan tentu saja dia butuh komputer untuk mengerjakan semua itu.
Namun ini masalahnya, dia sudah lama tidak menggunakan komputer selain untuk main game bersama keponakanku. Dan dia sudah tidak semuda dulu lagi, sudah banyak yang lupa. Dan dia tentu saja sudah tidak punya teman-teman kantor lagi yang bisa ditanyai dan dimintai tolong bila ada yang tidak bisa dikerjakan. Alhasil, kami anak-anaknya lah yang selalu ditanyai tentang cara membuat ini itu dengan menggunakan komputer.
Bisa bayangin kan, betapa mengganggunya pertanyaan yang diajukan berkali-kali mengenai hal-hal yang menurut kita begitu mudahnya. Apalagi bila kita sudah memberitahu caranya namun di waktu lain kembali ditanyakan. Kadang-kadang kita jadi malas memberitahu, kadang-kadang kalau pulang kantor dan dalam kondisi lelah bahkan bisa emosi bila ditanya mengenai hal-hal remeh temeh itu. Kalau anak buah di kantor bisa saja kita marahi dan kita bentak-bentak. Tapi ini kan orangtua kita sendiri bagaimana mau kita bentak-bentak? Kadang-kadang terpikir bahwa pola pertanyaan yang berulang-ulang untuk hal yang sama ini persis seperti anak kecil. AND THAT’S THE POINT.
Memang orang tua kadang melakukan hal-hal seperti yang dilakukan anak kecil. Dan ternyata itu biasa. Kita pun akan seperti itu pada saat kita sudah tua nanti. Aku jadi ingat bahwa dulu pada saat aku masih kecil, aku sering bertanya kepada ayahku tentang apapun di sekitarku yang kalau dipikir-pikir sekarang pertanyaan2 itu sangat mengganggu dan pasti menyebalkan. Tapi dulu ayahku dengan sabar selalu menjawab dan menjelaskan jawabannya kepadaku seremeh apapun pertanyaanku. Dan bila aku terus mengulang-ulang pertanyaan yang sama, ayahku juga tidak pernah marah, dia tetap menjelaskan lagi hal yang sama dengan sabar. Demikian berulang-ulang.
Lalu sekarang pada saat ayahku melakukan hal yang sama persis seperti yang kulakukan puluhan tahun lalu, mengapa aku harus jadi marah-marah? Maka aku mulai menata ulang hati dan pikiranku. Aku harus sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang ‘menyebalkan’ itu seperti dulu dia sabar menghadapai pertanyaan-pertanyaanku yang jauh lebih ‘menyebalkan’. Sedapat mungkin aku akan membantunya. Mungkin pola ‘mengajari’ sudah tidak terlalu berlaku lagi sekarang, karena besok-besok dia akan lupa lagi. Jadi dibuat simple saja, tiap dia bertanya aku akan menjelaskan dan membantunya. Begitu seterusnya. Tiap kali. Dan itu akan kulakukan bukan karena ingin membalas budinya dahulu kepadaku, tetapi karena aku cinta padanya. That’s it 🙂