Memaafkan – mengembalikan keseimbangan hidup
(written: Thursday, August 9th, 2007)
Tadi pagi waktu nonton TV kebetulan ada acara Infotainment. Pas kebetulan ada berita tentang kelanjutan sidang kasus kematian penyanyi Alda. Si terdakwa akhirnya divonis 15 tahun penjara. Tapi yang menjadi subject pemberitaan bukan itu, melainkan sidang yang berakhir dengan rusuh, dimana keluarga korban tidak terima, dan bahkan ibu korban sampai jatuh pingsan, dan sampai sekarang masih dirawat di Rumah Sakit karena shock mendengar vonis yang menurutnya sangat ringan itu.
Mendadak terpikir apakah si ibu belum juga meng-ikhlas-kan kematian anaknya? Memang secara lisan dia sudah mengatakan bahwa dia sudah menikhlaskan kematian anaknya. Namun semua kejadian di beberapa persidangan seolah-olah menyatakan dengan gamblang bahwa sebenarnya dia belum sepenuhnya ikhlas. Dia masih menyimpan rasa kehilangan yang teramat dalam, kemarahan, dan dendam yang tidak juga berakhir (bahkan sepertinya makin menguat).
Kita semua tahu sebenarnya kematian adalah memang sudah jadi kehendak Si Empunya Hidup. Memang caranya berbeda-beda. Medianya juga berbeda-beda. Sehingga seharusnya tidak selayaknya kita memelihara dendam membabibuta kepada penyebab kematian orang yang kita sayangi. Kata orang pinter, “itu memang sudah jalannya”.
Menyimpan kemarahan dan dendam malah akan merusak keseimbangan hidup kita. Lihat saja si Ibu. Dia sampai masuk rumah sakit karena shock dan marah. Itu artinya keseimbangan hidupnya sudah terganggu. Bagaimana caranya untuk mengembalikan keseimbangan itu? Yang paling gampang adalah membuang semua marah dan dendam dalam hati, dan mulai berjalan lagi. Move on. But how? Simple, dengan memaafkan.
Beberapa waktu ada seorang kawan yang bercerita. Ada sepasang orangtua yang sedang berada dalam suatu acara. Tiba-tiba datang telepon dari kepolisian yang mengabarkan bahwa anak tunggal mereka saat ini berada di rumah sakit, sekarat karena diserang perampok saat berada di rumah sendirian. Orangtua ini langsung meninggalkan acara dan berangkat ke rumah sakit. Tapi sayang, sampai disana mereka sudah terlambat. Si anak sudah ‘pergi’. Anda bisa bayangkan kondisi mereka. Anak tunggal yang untuk mendapatkannya mereka harus menunggu hampir 10 tahun meninggal karena dibunuh orang. Sedih? Pasti. Kehilangan? Of course. Marah? Tentunya. Dendam? Eits…nanti dulu.
Beberapa hari kemudian mereka kembali ditelepon pihak kepolisian yang mengabarkan bahwa si perampok sudah ditangkap dan saat ini ada di kantor polisi menunggu sidang pengadilan. Mereka langsung minta kepada polisi apakah mereka diijinkan untuk menemui sang pembunuh anak mereka itu. Saat itu semua orang berpikir bahwa orangtua ini pasti akan memaki-maki dan menyumpah-nyumpah orang tersebut. Namun saat mereka tiba di kantor polisi, apa yang terjadi? Mereka menemui si pembunuh. Sementara orang itu menangis sambil menyembah-nyembah mereka minta ampun, sepasang orangtua itu justru mengangkatnya dan memeluknya sambail mengatakan bahwa mereka memaafkan kejadian beberapa hari yang lalu. Dan mereka berharap orang tersebut dapat bertobat dan berjanji tidak akan mengulanginya. Klise? Dramatis? Yeah. Tapi kalau anda melihat wajah sepasang orantua itu, anda pasti akan percaya. Mereka dengan tulusnya memberi maaf bagi orang yang telah membunuh satu-satunya anak mereka. Dan ketulusan itu memberikan mereka keseimbangan dalam hidup mereka. Wajah mereka tetap cerah. Hidup mereka kembali normal. Dan kuncinya adalah memaafkan.
Cobalah jujur pada diri anda. Anda pernah menyimpan kemarahan dan dendam? Apa yang anda rasakan? Lesu, lelah, berbeban. Anda merasa hidup anda begitu berat, bukan? Sekarang cobalah untuk membuang semua itu, dan memaafkan orang yang berbuat salah pada anda setulus-tulusnya. Simsalabim…tiba-tiba langkah anda menjadi jauh lebih ringan. Hidup anda menjadi lebih cerah. Dan tiba-tiba saja anda menjadi lebih sering tersenyum. Bahagia, bukan?
Well, memng tidak mudah, tapi yakinlah kita pasti bisa. Forgive and forget, then move on…
hmmmm…., iya sih….
tapi susah…. 😀
LikeLike
hmmmm…., iya sih….
tapi susah…. 😀
LikeLike