Bulan Mei yang lalu, untuk kedua kalinya saya mengunjungi Korea Selatan setelah yang pertama pada tahun 2005. Bedanya, kunjungan pertama dulu dalam rangka ‘bekerja’, yaitu membawa client perusahaan sebagai hadiah atas pencapaian penjualan, maka kali ini saya benar-benar liburan. Dulu menggunakan jasa travel agent, menginap di hotel-hotel kelas satu, ke mana-mana menggunakan bus wisata, dan makan di tempat-tempat hits, maka kali ini saya mengurus sendiri semuanya dari visa, tiket, hotel, hingga penginapan, menginap di hostel atau hotel kelas bawah (yang tentunya masih nyaman), ke mana-mana menggunakan transportasi umum atau berjalan kaki, dan makan di tempat-tempat murah tapi enak, termasuk mi instan di mini market yang rasanya luar biasa 😁
Mana yang lebih menyenangkan? Well, dua-duanya menyenangkan karena yang pertama itu adalah perjalanan pertama saya ke luar negeri dan yang kali ini adalah perjalanan liburan yang jauh lebih santai. Yang agak bikin deg-degan itu pengurusan visa. Kebetulan saya mengurus sendiri dan ternyata gak susah kok. Persyaratannya ada di bawah ya. Setelah lengkap, datang ke Bank Hana yang ada di kedutaan Korea dan lakukan pembayaran di situ. Setelah pembayaran nanti kita dapat stamp/perangko yang dilampirkan saat pengumpulan dokumen persyaratan. Usahakan pagi biar lebih cepet, antrian belum panjang. Setelah itu bisa pulang, nanti visa akan jadi dan paspor bisa diambil dalam waktu 6 hari kerja. Statusnya bisa dilihat secara online kok.
Jadi ke mana saja saya selama 5 hari di Korea Selatan? Seoul, Nami Island, dan Jeju Island.
Saat pertama kali mendarat di Seoul, kesan yang saya dapat tentang bandara Incheon adalah ‘kok biasa aja’, padahal 13 tahun lalu saya bahkan sampai tercengang dan mengambil banyak foto di sini hahahaha. Bandara ini selesai dibangun tahun 2001, tentu saja tahun 2005 masih terlihat baru dan sangat canggih. Tapi sekarang, dengan bertambahnya usia bandara dan dibukanya T3 Soekarno Hatta, Incheon jadi terlihat biasa saja.
Karena ke mana-mana memang berencana menggunakan transportasi umum, maka saya rasa perlu membeli kartu yang bisa dengan mudah digunakan. Ada namanya kartu T-Money. Konsepnya sama dengan e-money di Jakarta, jadi bisa dibeli (dan sekaligus isi ulang) di mini market dan bisa dipakai berbelanja juga. Kalau dipakai naik kereta tinggal tap saat masuk dan keluar stasiun, sementara kalau untuk naik bis tinggal tap di dalam bis saat naik dan saat turun. Jangan lupa tap saat turun, karena nanti bisa bermasalah dan tidak bisa digunakan lagi.
Karena masih sore, maka setelah check-in, saya dan teman-teman langsung keluar lagi. Ke mana? Myeong Dong! Hahaha. Tempat ini sangat terkenal dengan kompleks pertokoan yang ramai dengan turis dan menjadi salah satu tempat tujuan berbelanja kosmetik dan skin care. Saya belanja kosmetik? Tentu saja, karena sebelum berangkat saja sudah banyak titipan dari Indonesia hahaha. Cara merek menjual produk juga sangat menarik. Ada yang pasang display sampai ke tengah jalan, ada yang sambil teriak-teriak, ada yang memberikan bonus sampel yang banyak banget dan ada yang menawarkan untuk mencoba produknya di depan toko hahaha.
Selain alat kecantikan, tentu banyak juga penjual makanan bertebaran di kawasan ini. Ada es krim, egg taart, kue-kue, dan bahkan steak. Yang menarik adalah karena banyaknya turis asal Indonesia maka sebagian penjual bisa berbahasa Indonesia. Termasuk mas-mas penjual jajanan manis yang (kata temen gue) kulit mukanya mulusss kayak porselen 😂😂
Tips: kalo jalan-jalan kalo bisa jangan booking kamar yang termasuk sarapan. Dengan harga lebih murah kita bisa dapetin sarapan dengan citarasa lokal dan enak. Seperti kedai kecil milik oma ini. Sarapannya toast yang enyaaak banget.
Hari kedua ini saya dan teman-teman berencana keliling Seoul. Tujuan pertama adalah Bukchon Hanok Village, salah satu desa traditional yang sudah jadi obyek wisata utama di Seoul yang sampai saat ini masih berpenghuni. Dengan susunan bangunan tradisional Korea yang sungguh menarik, obyek wisata ini menyimpan masalah besar. Banyaknya turis yang berkunjung ternyata mengganggu kehidupan warga setempat. Suara yang bising dan turis yang bersikap tidak sopan adalah penyebab utamanya. Penduduk bahkan memasang spanduk-spanduk besar berisi protes. Saya sempat berpikir apakah lebih baik memang menutup tempat wisata seperti ini daripada merusak kehidupan orang-orang di dalamnya?
Eh, makan siang dulu ah 😁😁
Kemudian jalan-jalan (beneran jalan kaki) berlanjut lagi ke Gyeongbokgung Palace. Istana raja yang indah ini jaraknya kira-kira 20 menit berjalan kaki dari Bukchon Hanok Village. Saya ingat pada kunjungan pertama dulu saya tidak bisa menikmati keindahan istana ini sepenuhnya karena harus mengurusi peserta tour dengan waktu terbatas. Kal ini saya benar-benar menikmati waktu saya di sini. Berkeliling di semua bangunan, mengambil banyak foto, sambil membayangkan kehidupan para raja jaman dulu.
Setelah itu saya kembali keliling kota dan terdampar di daerah Cheonggyecheon untuk menikmati matahari terbenam di tepi sungai di tengah kota. Di tepi sungai kecil ini terdapat jalan kecil semacam jogging track di mana penduduk setempat bisa menghabiskan sore untuk lari, jalan santai, atau sekedar duduk-duduk menikmati matahari terbenam. Walaupun namanya sungai, jangan bayangkan seperti sungai di Jakarta. Sungai kecil ini dangkal, bersih, tidak berbau, dan bahkan ada banyak ikan yang hidup di situ. Mudah-mudahan nanti Kali Malang bisa dibuat sebagus ini ya sama Kang Emil 😁
Sebelum kembali ke hotel, saya menyempatkan diri melewati Heunginjimun atau Dongdaemun, yang berarti Gerbang Besar Timur. Tadinya ada Gerbang Selatan dan Gerbang Barat, tapi keduanya sudah hancur dan tinggal tersisa Heunginjimun ini. Bangunan bersejarah ini terlihat menawan di malam hari dengan lampu sorot yang membuatnya ‘menyala’ di tengah suasana modern kota Seoul.
Di hari ketiga saya keluar dari Seoul dan mengunjungi Nami Island. Dari Seoul naik kereta sampai ke Gapyeong, lalu dari stasiun naik taksi sekitar 10 menit ke Nami Ferry Terminal dan lanjut naik ferry ke Nami Island. Gue pribadi gak terlalu suka dengan Nami Island. Pulau ini lebih cocok untuk wisata keluarga atau di musim gugur/dingin bisa untuk pacaran karena suasananya romantis. Tapi di musim panas rasanya tidak banyak yang bisa dinikmati di sini kecuali berfoto dengan latar belakang pohon hijau yang berbaris rapi menuju laut berwarna hijau toska. Namun saya bisa membayangkan seperti apa indahnya musim gugur di Nami Island saat daun-daun berwarna coklat dan berguguran ditiup angin. Mungkin saya harus kembali saat musim gugur kelak.
Setelah kembali ke Seoul saya melanjutkan keliling kota dan menjelang sore menuju Han Gang Bridge untuk menikmati matahari terbenam (lagi). Di sini kita bisa merasa ada di dunia berbeda. Matahari musim panas yang perlahan-lahan tenggelam serasa mengobati segala kelelahan setelah berjalan jauh hari ini. Coba lihat saja di foto-foto ini.
Sebagai penggemar buku, rasanya tidak lengkap kalau tidak mengunjungi perpustakaan paling besar di Seoul. Jadi malamnya saya mampir ke mall. Iya, mall. Starfield Library yang terkenal itu memang berada di tengah Coex Mall Seoul. Dengan luas sekitar 2800 m2, perpustakaan ini terlihat sangat luas. Ada 3 rak buku raksasa yang tingginya sekitar 13 meter yang berisi puluhan ribu buku. Pengunjung bisa masuk dan membaca buku di sini dengan nyaman karena disediakan banyak meja baca dengan desain yang stylish. Oh iya, semuanya gratis.
Sebelum pulang saya mampir dulu di sebuah kuil kecil di seberang mall bernama Bongeunsa Temple. Uniknya, ribuan lampion dipasang di kuil ini. Bagus bangetttt.
Hari keempat adalah hari terakhir saya di Seoul sebelum terbang ke Jeju Island. Karena mengambil penerbangan sore, maka saya masih punya waktu beberapa jam di Seoul. Hari ini cuma ada 2 tempat yang akan didatangi. Myeongdong (lagi) untuk membeli beberapa titipan teman dari Jakarta (alat make up dan skin care tentunya hahaha), dan Haneul Park sebelum kembali ke hotel mengambil barang dan berangkat ke airport.
Kali ini saya mengambil arah yang berbeda dengan saat pertama kali ke Myeong Dong. Sebelum berbelanja saya mampir dulu di Myeong Dong Cathedral, sebuah gereja Katolik berarsitektur Gothic dan berusia 120 tahun. Tahun 1977 pemerintah telah menetapkan gereja ini sebagai salah satu situs sejarah di Korea Selatan.
Setelah berbelanja, saya sempat berkeliling sebentar dan menemukan sebuah jalan yang penuh dengan patung-patung tokoh anime di kiri kanan jalan. Lucu-lucu banget.
Haneul Park yang dulunya merupakan gunung sampah, terletak di dekat Stadion Nasional yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan Piala Dunia 2002 dan merupakan salah satu dari 5 taman yang ada di sekitar stadion. Haneul Park ini adalah yang paling tinggi letaknya. Sebenarnya ada anak tangga yang jumlahnya lebih dari 200 untuk naik ke taman ini, tapi kebetulan ada juga semacam mobil golf yang keliling naik dan turun dari taman. Bayarnya 3000 won sekali jalan. Ini lebih menarik karena kita dibawa melewati hutan, daaaan tentu gak capek jalan kaki haha.
Konon Haneul Park ini sangat indah saat musim gugur tapi ternyata lumayan juga saat awal musim panas. Daun-daun terlihat hijau dan pemandangan ke arah pusat kota Seoul sangat indah. Ada juga beberapa dekorasi yang memang dipasang sebagai properti foto seperti bangku taman, ayunan, menara pandang, dan beberapa rumah burung.
Tidak terasa hari menjelang sore dan saya harus bergegas kembali ke hotel dan melanjutkan perjalanan ke Jeju. Nanti saya ceritakan di tulisan berikutnya. Daah.