Gang Gloria dan Pecinan di Jakarta


Jalan-jalan menjelang Imlek itu sangatlah menyenangkan. Apalagi ke tempat-tempat yang jadi pusat pemukiman warga yang merayakan Imlek. Rasanya menyenangkan melihat warga yang antusias menyambut hari raya Imlek dengan menghias semua tempat dengan warna merah. Kalo tahun lalu gue jalan-jalannya jauhan dikit ke Hongkong, tahun ini gue di Jakarta aja. Tepatnya ke Kota!

Kebetulan tempat-tempat yang mau gue datangin itu ada di kawasan padat penduduk. Beberapa agak susah masuk mobil dan harus blusukan. Kalo parkir juga jatohnya kejauhan. Jadi gue pilih pake kereta aja. Murah dan sama sekali gak ribet. Pokoknya kalo mau gampang cari kereta ke arah Manggarai dulu trus lanjut ke stasiun kota. Ongkosnya murah banget. Kurang dari 10 rb rupiah lah kira-kira. Pelajari jalur dan tabel harganya di bawah ini ya (sumber: krl.co.id).


Kalo pas hari libur, apalagi pagi, naik kereta itu menyenangkan. Keretanya gak penuh, gak panas karena udah pake AC, dan gak pake lama nunggunya. Walaupun lebih seru naik kereta ke arah Depok pas hari kerja sih (baca: banyak yang lucu hahaha).

 


Turun di Stasiun Jakarta Kota, rasanya mirip stasiun tua di kota-kota besar di dunia seperti Central Station, Sydney atau Gare Du Nord, Paris (iya gpp lah agak lebay dikit :p). Bersih dan terawat walaupun tua. Bedanya, di Stasiun Jakarta Kota gak banyak bulenya hahaha. Di stasiun ini banyak makanan dan minuman lho. Kafe premium sekelas Starbucks aja ada.

 

Karena tujuan utama gue adalah Gang Gloria, jadi gue keluar dari stasiun ke arah kiri, lalu belok di luar stasiun belok ke arah kanan. Lalu lanjut menyusuri tepian jalan sampai ke seberang. Nyebrangnya lewat terowongan bawah tanah. Di terowongan ini banyak orang jualan. Dari makanan, pakaian, mainan anak-anak, sampai accessories wanita. Harganya murah khas kaki lima. Oya, di tengah-tengah ada kolam air mancur lho, sampai ada yang duduk-duduk pacaran di situ hahaha.

Setelah sampai di seberang, jalan ke arah kiri, ternyata harus nyebrang lagi. Di sini harus hati-hati karena nyebrangnya langsung nyebrang jalan, jadi harus nunggu lampu merah dan kondisi jalanan sepi. Di sisi seberang trotoarnya luas dan teduh, jadi enak dipakai jalan. Sayangnya banyak pedagang kaki lima yang mangkal di sepanjang trotoar. Yang dijual macam-macam sih, ada perhiasan semacam geang dan cincin batu-batuan, peralatan rumah tangga, dan yang paling keren adalah parade pelukis jalanan. Kenapa keren banget? Selain memang hasil lukisannya keren-keren, para seniman lukis itu mengerjakan lukisannya di tempat itu, jadi kita bisa melihat langsung mereka sedang bekerja. Ada yang lukisan di atas kertas atau kanvas, ada yang lukisan cat air, cat minyak, atau sekedar sketsa. Harganya juga tidak terlalu mahal, tergantung media lukis dan kerumitan lukisan. Itu juga masih bisa ditawar lho.

 

Beberapa puluh meter dari tempat nongkrong para pelukis itu, ada jalanan yang berbelok ke kanan. Gak terlalu jauh dari belokan, kita bisa melihat ada gang kecil di sebelah kiri yang penuh dengan kios makanan dan orang yang berlalu lalang. That’s the famous Gang Gloria. Dari ujung ke ujung, gang ini penuh dengan tukang jual makanan. Ada penjual gorengan dengan andalannya sukun goreng yang mirip di kampung gue dulu, cuman ini lebih gede-gede, Ada penjual mi ayam dan nasi campur (sebagian besar gak halal sih hahaha). Ada penjual soto betawi tapi dengan nama Cina (entahlah halal atau ngga hahaha). Daaan tentu saja ada Kopi Es Tak Kie yang sangat terkenal. Jangan ngaku anak gaul Jakarta kalo blom nongkrong di kedai kopi klasik ini.

Kopi Es Tak Kie ini usianya sudah hampir seabad. 10 tahun lagi genap 100 tahun. Mudah-mudahan masih ada yang meneruskan ya. Menemukan kedai kopi ini gak terlalu sulit. Memang di bagian depannya nyaris tertutup oleh kedai-kedai penjual nasi campur. Tapi papan besar bertuliskan Kopi Es Tak Kie yang diletakkan di dalam kedai masih terlihat jelas dari luar. Tempatnya sangat sederhana, tanpa AC ataupun interior design yang mewah. Cuma terlihat beberapa foto orang-orang yang pernah mampir di sini dipasang di dinding dan beberapa lampion merah yang digantung karena sedang dalam suasana menyambut Imlek. Untuk sedikit mendinginkan ruangan yang panas, di langit-langit dipasang beberapa kipas angin. Menu kopinya cuma empat. Kopi hitam atau kopi susu, panas atau pakai es. That’s all. Untuk makanan, bisa pesen di dalam atau pesen di luar. Pemilik kedai kopi ini membebaskan pengunjungnya untuk membawa atau membeli makanan dari luar. Total biaya per orang sekitar 40-50ribuan. Kopinya sendiri cuma 15-17 ribuan.

Kalo dibilang enak ya emang seger sih karena abis jalan jauh panas-panasan. Tapi dibilang istimewa sih gak juga. Biasa aja. Justru suasananya yang keren banget. Kalo lo pernah nonton film kungfu jaman Jackie Chan muda dulu, ini suasananya mirip gitu. Yang jualan teriak-teriak nanyain pesanan ke anak buahnya, kasir teriak-teriak nanyain pesenan udah diantar apa blom, pengunjung ngobrol pake suara keras-keras, duh otentik banget suasananya. Keren banget. Di sebelah kedai kopi ini ada tempat cukur rambut yang juga sudah berdiri 80 tahun. Keren ya tetanggaan udah 80 tahun hehehe.

Masih di kawasan Glodok, gue melanjutkan perjalanan ke Gereja Katolik Santa Maria De Fatima. Di tengah perjalanan gue melewati sebuah Vihara berwarna merah menyala yang sedang ramai dikunjungi orang. Namanya Vihara Dharma Jaya Toasebio. Vihara ini berumur lebih dari 250 tahun. Konon vihara ini pernah menjadi korban pembakaran massal saat terjadi kerusuhan etnis, namun akhirnya dibangun kembali beberapa tahun kemudian. Hampir seluruh bangunan berwarna merah termasuk dekorasi dan lilin untuk sembahyang. Siang itu ternyata sedang dilakukan persiapan untuk hari raya Imlek. Jadi vihara sedang dibersihkan oleh masyarakat setempat termasuk patung-patungnya. Patung-patung ‘dimandikan’ dengan air kembang, sementara lantai dan dinding disikat sampai bersih.

 

Setelah itu gue melanjutkan perjalanan lagi ke Gereja Katolik Santa Maria De Fatima yang terletak gak jauh dari Vihara tadi. Gereja ini unik karena mungkin inilah satu-satunya gereja di Indonesia yang berarsitektur tradisional Tionghoa dengan dominasi warna merah dan emas di bagian luar dan altar gereja. Walaupun mirip, tapi gereja ini dulunya bukanlah vihara atau kelenteng, melainkan rumah tinggal. Pernah ke Candra Naya di kawasan Gajah Mada? Nah gereja ini bentuk luarnya mirip dengan Candra Naya itu. Bangunannya sudah berusia lebih dari 100 tahun, namun baru berfungsi sebagai gereja sekitar 60 tahun terakhir. Siang itu akan ada pemberkatan pernikahan di gereja ini, jadi gue gak bisa lama-lama di dalam.

 


Pulangnya, jalan kaki lagi ke stasiun, lewat jalur yang sama, menikmati suasana menjelang Imlek di kawasan pecinan Jakarta ini

6 comments

Leave a comment