Lima Tahun Kemudian


Lima Tahun Kemudian
(written: Friday, July 5, 2013)

“Besok sudah tepat lima tahun. Kutunggu kau di tempat biasa.”

Sebagian besar otakku terisi oleh email singkatmu kemarin sore. Email yang singkat namun mampu memutarbalikkan duniaku seketika. Aku masih membeku memandang hujan yang terus mengguyur Jakarta sejak siang tadi. Hari ini aku tidak masuk kantor. Terlalu banyak yang membebani pikiranku, membuatku tak mampu bangkit dari tempat tidurku tadi pagi.

Bukan. Bukan email itu yang memutarbalikkan duniaku. Tapi kenangan kita seribu tahun yang lalu yang tiba-tiba memenuhi rongga kepalaku dan melemparkanku ke masa lalu.

Aku masih mengingat awal perkenalan kita. Di Glodok, pusat penjualan DVD bajakan. Kita memang punya hobi yang sama. Nonton film dan berburu DVD bajakan. Sendirian. Aku masih ingat perkenalan kita siang itu saat kita berdua kebetulan berteduh karena hujan yang tiba-tiba turun. Aku melihatmu memegang beberapa sampul DVD. Aku tak menyangka lelaki sepertimu akan menyukai film drama kesukaanku itu. Tanpa sadar aku tersenyum geli. Kau menatap aneh padaku. Itulah awal perkenalan kita. Dan saat aku menceritakan kenapa aku tersenyum geli, kau malah terbahak-bahak dan mengatakan bahwa itu DVD titipan adik perempuanmu. Anehnya gantian aku yang keberatan dan memaksamu untuk mencoba menonton DVD itu. Aku meyakinkanmu bahwa film drama seperti itu bukan hanya konsumsi perempuan saja, tapi bisa juga ditonton laki-laki. Dan entah kenapa, kau akhirnya mau menonton DVD itu.

Hal itu kau ceritakan di pertemuan kita berikutnya. Kau bilang kau sudah menonton film itu dan kau menyukainya. Aku sudah menduganya. Kemudian kita bertukar film-film pilihan kita masing-masing. Ternyata selera kita berbeda sangat jauh. Aku lebih suka film drama, horror, dan komedi. Sementara kau lebih suka film action dan sci-fi. Kita saling meyakinkan pilihan masing-masing kemudian berjanji untuk saling meminjamkan koleksi dan menontonnya. Ajaib, ternyata aku menyukai film-film pilihanmu. Dan kau bilang kau juga suka dengan film-film pilihanku.

Waktu itu kau bilang kapan-kapan ingin menontonnya bersamaku. Namun kau tak mungkin ke rumahku (ayahku akan langsung mengusirmu) dan aku tak mungkin ke rumahmu (apa kata orang jika mereka tahu). Akhirnya kita meninggalkan kebiasaan kita untuk nonton DVD dan menyusun rencana untuk nonton bioskop saja. Dan sejak saat itu kita punya kebiasaan baru untuk nonton bioskop tiap akhir pekan.

Kedekatan kita berlanjut sampai bertahun-tahun setelahnya. Tanpa bisa menahan diri, aku mulai bermimpi tentang masa depanku bersamamu. Impian yang sebenarnya tak berdasar. Kita memang sangat dekat. Terlalu dekat. Namun kau tak pernah mengatakan apa-apa padaku tentang kebersamaan kita. Aku yang nekat bermimpi. Aku yang sengaja membiarkan angan-anganku terbang bersamamu. Aku yang dengan sadar telah menggantungkan harapanku jauh ke sisi langit. Aku yang telah menyerahkan diri padamu. Dan aku juga yang telah dengan sadar terjun ke dasar jurang kekecewaan. Ya, itu semua salahku.

Aku masih ingat saat itu. Saat kau memutuskan untuk pergi dari hidupku. Katamu hanya sementara. Hanya 5 tahun. Tapi untukku itu berarti selamanya. Banyak yang bisa terjadi denganmu selama 5 tahun ke depan. Dan janjimu untuk bertemu denganku saat kau kembali tak pernah kuanggap ada. Dan perlahan-lahan aku mulai melupakanmu. Sampai emailmu datang tiba-tiba kemarin sore.

—–

“Besok sudah tepat lima tahun. Kutunggu kau di tempat biasa.”

Kemarin aku masih begitu menggebu-gebu ingin bertemu denganmu saat mengirimkan email itu. Namun pagi ini aku menjadi tidak yakin. Sudah banyak yang berubah selama 5 tahun ini. Kau pasti akan mengenaliku. Namun entah apakah kau masih mau menemuiku nanti. Hidup kita berdua berubah. Tapi satu yang pasti, aku tak pernah melupakanmu. Sedetikpun.

Aku tak pernah ingat dengan pasti kapan dan bagaimana awal kita bertemu. Tapi yang selalu kuingat adalah senyum dan tawamu yang renyah, yang membuatku tertarik saat itu. Kebetulan kita memiliki hobi yang sama, yaitu nonton.

Sebelum bertemu denganmu aku hanya suka nonton DVD di kamarku. Sendirian. Namun setelah bertemu denganmu aku jadi suka nonton bioskop. Ah andai kau tahu bahwa aku selalu membeli DVD film yang kita tonton di bioskop, dan menontonnya lagi di rumah. Aku tak pernah bisa konsentrasi saat nonton berdua denganmu. Kaulah penyebabnya. Dan kau juga alasan aku tetap mau ke bioskop walaupun aku tak suka. Aku hanya ingin bersamamu.

Ayahmu tak pernah suka padaku. Seperti juga jutaan ayah lainnya yang tak suka jika anak gadisnya didatangi teman laki-laki. Mungkin dia hanya terlalu sayang padamu. Di matanya kau tetap anak kecil yang perlu dijaga sepanjang waktu. Tapi tak apa. Kita masih bisa mengatur waktu untuk bertemu dan nonton bersama. Waktu yang pernah kita manfaatkan terlalu jauh. Waktu yang selalu kusyukuri, namun kini kadang kusesali. Untuk itulah aku ingin bertemu denganmu. Untuk minta maaf dan menebus segalanya jika masih bisa.

—–

Tempat yang sama, hari ini, lima tahun kemudian

“Apa kabar?”

“Baik. Kamu?”

“Baik juga”

Lalu keduanya diam sampai lama.

“Kupikir kau lupa”

“Aku tak pernah melupakan janji. Kau tahu itu kan?

“Jadi ada apa lagi?”

Terdengar helaan nafas panjang penuh beban.

“Aku ingin minta maaf padamu. Minggu depan sudah Ramadhan lagi. Sudah empat Ramadhan aku lewati dengan penuh rasa bersalah. Tahun ini aku ingin itu berakhir. Aku ingin melewatkan Ramadhan kali ini dengan lebih khusuk. Tanpa rasa bersalah. Untuk itulah aku kembali”

“Lalu kau akan pergi lagi?”
“Ya”

“Kau tak perlu minta maaf padaku”

“Ya. Aku perlu. Aku merasa bersalah meninggalkanmu setelah kejadian itu. Aku tak pernah ingin pergi, namun ayahmu yang menyuruhku. Katanya dia tak ingin aku mengganggumu.”

“Jangan bawa-bawa ayahku. Dia sudah meninggal empat tahun lalu”

“Maafkan aku. Aku tak tahu.”

“Sudah kubilang kau tak perlu minta maaf padaku.”

“Apa yang harus kulakukan agar kau mau memaafkan aku?”

Lalu diam lagi. Lama. Lalu terdengar helaan nafas lagi.

“Kau tak perlu minta maaf padaku. Minta maaflah pada Saskia.”

“Saskia?”

“Ya, Saskia. Dia anakku. Anakmu juga”

Terdengar nafas tercekat. Lalu diam. Lama. Lalu helaan nafas lagi. Kali ini lebih dalam.

“Mengapa kau tak pernah mengatakannya padaku?”

“Kau sudah memilih untuk pergi. Mengapa aku harus menahanmu?”

“Aku minta maaf. Aku tak tahu.”

“Sudah kubilang kau tak perlu minta maaf padaku. Minta maaflah pada Saskia. Kau berhutang adzan padanya.”

Lalu diam lagi. Namun mereka tahu jalan hidup mereka sudah berubah. Banyak yang harus mereka selesaikan. Dan Ramadhan ini tak akan lagi sama.

-ditulis untuk project Kejutan Ramadhan-NulisBuku, Juli 2013-

2 comments

Leave a comment