Mendung Menggantung


Mendung Menggantung
(written: Thursday, July 26, 2012)

Langit terlihat gelap padahal masih pukul 3 siang. Aku memandang keluar jendela ruang kerjaku. Beberapa tahun lalu aku tidak pernah memandang keluar jendela dengan perasaan bingung seperti ini. Dulu tenang rasanya. Karena aku tahu walaupun hujan turun dengan derasnya akan selalu ada yang menungguku untuk pulang bersama ke apartemen. Walaupun harus pulang malam demi bersembunyi dari tatapan mata semua orang di kantor ini, tapi aku tidak akan kehujanan. Dan yang paling penting, hatiku tak akan sedingin ini, melainkan penuh dengan kehangatan. Ingatanku terlempar ke masa silam.

Aku sayang sama kamu. Cuma kamu yang bisa mengerti aku, Lin,” Rahmat memandangku dengan lembut sambil mengusap rambutku. Aku cuma bisa tertunduk diam seperti biasa, tak kuasa menahan kebahagiaanku mendengar ucapan itu. Namun ucapan Rahmat selanjutnya cukup tajam menggores hati.

Untuk sementara kita bertemu seperti ini saja ya, Lin. Kamu bisa paham kan kondisi kita?”

Ya, aku sudah paham dengan kondisi kami berdua. Posisi Rahmat yang menjadi salah satu manager di perusahaan tempatku bekerja memang membuat hubungan kami sangat rawan dengan gossip. Entah sudah berapa kali kudengar selentingan negatif tentang hubungan kami yang cukup dekat. Bahkan ada beberapa yang terang-terangan menyindir saat sarapan di kantin kantor. Aku sendiri tak pernah peduli dengan itu, yang aku tahu hatiku bahagia. Itu sudah cukup bagiku.

Hubunganku dengan Rahmat sudah berjalan hampir 3 tahun. Sejak pertama aku bergabung dengan kantor ini. Dan di akhir tahun pertama, Rahmat sudah menyewa sebuah apartemen kecil di salah satu sudut kota tempat kami berdua bisa bersama tanpa harus khawatir bertemu dengan orang-orang kantor. Saat itu aku sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Rahmat. Kami sudah menghitung semua resiko. Termasuk soal hati. Namun kami selalu berpura-pura tak ada resiko. Terutama aku.

Sesekali, kami berdua pergi nonton ke bioskop kecil di pinggiran kota. Kami juga pergi makan malam di hotel mewah, tempat dimana kami yakin tidak akan ada yang memergoki kami disana. Penghasilan Rahmat lebih dari cukup untuk itu. Kami berdua tak pernah jalan-jalan ke mal atau tempat-tempat keramaian. Beberapa kali saat Rahmat mendapat tugas keluar kota atau keluar negeri, dia akan memperpanjang waktu tinggalnya disana paling tidak sampai hari Minggu, karena aku akan menyusulnya kesana di hari Jumat malam sepulang kantor atau Sabtu pagi. Dan sejauh ini aku tak pernah mengeluh. Kami menjalani hubungan manis ini dengan tulus.

Aku menyimpan hubungan ini rapat-rapat. Walaupun aku tinggal berdua saja dengan ibu, namun tak pernah sekalipun aku menceritakan tentang Rahmat kepadanya. Demikian juga kepada teman-temanku. Rahmat tidak mengijinkannya. Dan tentu saja aku juga tak mau orang-orang tahu tentang hubungan kami. Apa kata mereka kalau mereka tahu aku sudah menyerahkan diriku pada Rahmat, lelaki beristri yang kebetulan jadi atasanku di kantor. Mereka tak akan pernah mau mengerti tentang perasaanku. Mereka tak akan pernah mengerti betapa kami saling mencinta.

Aku tak pernah mencintai istriku, Lin. Kamu tahu kan, aku tak pernah mengajaknya ikut serta dalam acara-acara yang diadakan kantor.”

Bukan sekali dua kali Rahmat menyatakan hal itu padaku. Dan seperti biasa aku hanya tersenyum. Aku mencintai Rahmat sepenuhnya, tak peduli dengan statusnya sebagai suami orang. Walaupun jauh di lubuk hati aku merasa bersalah telah menjalin hubungan dengan suami orang, aku selalu memegang kata-kata Rahmat itu sebagai pembelaan pada nuraniku sendiri.

Ah, aku tak pernah merebutnya dari istrinya, toh mereka memang tak pernah saling mencintai,” demikian selalu aku berkata pada diriku sendiri.

Rahmat rajin membelikan hadiah untukku. Kemanapun dia pergi dia tak lupa untuk membawakan sesuatu untukku. Apapun. Dari sekedar cokelat hingga tas bermerk terkenal yang dibelinya di free duty shop di airport. Aku selalu terbuai dengan perhatian-perhatian dari Rahmat. SMS dan BBM dari Rahmat tak pernah kuhapus. Aku menyimpannya untuk kubaca saat aku sedang sendiri. Bahkan saat Rahmat sedang bertugas di luar negeri, dia tak segan-segan meneleponku ke Jakarta. Perhatian-perhatian semacam itulah yang membuatku takluk dan makin mencintainya.

Aku akan segera meninggalkan istriku jika saatnya sudah tepat, Lin. Jadi untuk sementara kita begini saja ya

Aku biasanya hanya tersenyum. Aku memang pernah bermimpi untuk menikah dengan Rahmat, namun sejak jauh-jauh hari aku sudah menghapus mimpi itu dari kepala dan hatiku. Sejujurnya aku tak pernah ingin membuat perempuan lain menderita. Ditambah lagi 2 anak Rahmat yang masih membutuhkan kebersamaan orang tuanya. Aku tak sampai hati merenggut itu semua dari mereka. Jadi semua yang kudapatkan saat ini sudah cukup bagiku.

Kadang-kadang aku merasa heran. Kapan Rahmat punya waktu untuk keluarganya. Hampir tiap hari jika tak ada urusan pekerjaan, sepulang dari kantor kami ke apartemen ini, dan menjelang tengah malam baru dia pulang. Sabtu pun Rahmat masih datang ke apartemen, sekedar nonton DVD atau main game. Dan biasanya aku menyempatkan diri untuk memasak makanan untuknya. Entah alasan apa yang digunakan Rahmat kepada istri dan anak-anaknya. Aku tak mau tahu. Aku yakin Rahmat sudah mempertimbangkan semuanya. Dan aku tak pernah berniat untuk mempertanyakan hal itu padanya.

Sejujurnya, banyak yang sudah kukorbankan untuk hubungan ini. Aku menjadi semakin dijauhi teman-temanku karena tak pernah mau bergabung dengan mereka untuk sekedar hang out sepulang kantor. Aku terlalu sibuk dengan hubungan kami ini. Dan memang Rahmat sering melarangku bergaul terlalu akrab dengan mereka. Alasannya, dia tak ingin orang jadi curiga jika suatu saat aku kelepasan bicara. Akupun menuruti kata-katanya dengan patuh.

Aku tahu, diriku cukup menarik dan mampu mendapatkan yang lebih dari Rahmat. Sudah beberapa pria berusaha mendekatiku, namun selalu kutolak dengan cara halus. Dan hal tersebut sering membuat teman-temanku heran. Beberapa kali secara sepintas hal itu kuceritakan kepada Rahmat. Reaksinya mengejutkan sekali. Dari mulai marah-marah, diam seribu bahasa, hingga pernah sekali Rahmat menitikkan air mata memohon agar aku tak meninggalkannya. Aku tahu, Rahmat betul-betul mencintaiku. Itulah yang membuatku semakin mencintainya dan tak berniat meninggalkannya. Hingga tahun kelima ini.

Kemudian tibalah saat Dhika masuk ke dalam cerita ini.

Dhika adalah salah satu teman kantorku. Kami berteman baik, namun hanya sebatas di kantor saja. Suatu hari dia mendadak duduk di sebelahku saat makan siang di kantin. Aku memang selalu makan sendiri karena merasa kurang nyaman jika bersama teman-temanku. Jadi aku cukup terkejut saat Dhika tiba-tiba duduk di sebelahku.

Hey, kok sendirian aja?” dia tersenyum ramah padaku. Aku yakin itu cuma pertanyaan basa basi karena dia pasti tahu aku selalu duduk di sudut ini sendiri tiap jam makan siang. Jadi aku cuma tersenyum saja menanggapinya. Namun kata-katanya selanjutnya sangat mengejutkanku.

Kemarin aku lihat kamu lagi makan berdua dengan Pak Rahmat

Tiba-tiba aku tersedak hebat. Dhika buru-buru mengambilkan minum dan mengulurkan tissue kepadaku. Setelah minum aku memandangnya tajam.

Dimana kamu lihat?”

Di Hotel Mulia. Kemarin aku kesana menemui teman lama yang kebetulan sedang menginap disana. Tadinya aku mau menyapa tapi takut malah tidak enak nantinya

Aku hanya diam sambil meneruskan makan. Tapi sekarang rasanya sulit sekali kutelan.

Aku tahu, Lin. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Itu urusanmu sendiri. Aku tidak akan ikut campur. Dan tentu aku tidak akan menceritakannya kepada siapa-siapa. Aku cuma kasihan padamu.

Aku menatapnya. Ketulusan terpancar dari matanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk penuh terima kasih. Aku tak tahu harus berkata apa lagi padanya.

Sejak itu Dhika hampir selalu duduk denganku saat makan siang. Kamu mulai mengobrol. Dia tak pernah menyinggung hal sensitif itu lagi. Obrolan kami hanya seputar pekerjaan dan teman-teman. Ternyata Dhika merupakan teman bicara yang cukup menyenangkan. Kami langsung akrab.

Hal itu tak lepas dari perhatian Rahmat. Dari tempat makan manager yang terpisah oleh kaca, ternyata Rahmat selalu memperhatikanku. Dan dia mulai bertanya mengenai Dhika. Aku menjawab bahwa Dhika hanya teman ngobrol yang mengasyikkan. Rahmat hanya diam mendengar penjelasanku. Sampai suatu ketika.

Gimana kalau kamu pura-pura pacaran saja sama Dhika? Jadi kita tak akan terlalu dicurigai lagi.”

Aku tersentak. Mengapa tiba-tiba dia punya ide segila itu, pikirku. Aku hanya diam, namun hatiku mulai merasa tak nyaman. Kami memang harus menutupi hubungan kami. Namun aku tak ingin melibatkan orang lain di dalamnya. Apalagi Dhika teman yang baik. Aku tak sampai hati menyeretnya ke dalam sandiwara gila ini.

Saat hatiku mulai bimbang, aku memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Dhika. Hanya dia temanku satu-satunya disini. Dan kurasa dia cukup bisa dipercaya. Dan suatu hari saat Rahmat sedang tugas di luar kota, aku memberanikan diri untuk mengajak Dhika menemaniku makan malam pulang kantor. Dan dia menerimanya dengan antusias.

Hey, aku pikir kamu tak akan pernah mau makan atau sekedar nongkrong sepulang kantor. Percayalah, sesekali nongkrong di mal itu membuat kita rileks

Aku tertawa lepas, tak seperti biasanya. Ternyata memang punya teman itu rasanya menyenangkan.

Lalu pulang kantor kami makan malam di salah satu mal dekat kantor dan diteruskan denan nongkrong di salah satu kedai kopi di mal yang sama. Saat itulah aku berniat menceritakan semuanya pada Dhika. Rasanya makin tak nyaman menyimpannya sendiri.

Ka, kamu bisa dipercaya kan? Soalnya aku mau menceritakan banyak hal padamu

Tentu, ceritakanlah. Aku tahu bebanmu begitu berat, terlihat dari matamu

Lalu aku mulai bercerita mengenai hubunganku dengan Rahmat. Semuanya. Tak ada yang ditutup-tutupi. Dhika tak menunjukkan reaksi berlebihan saat mendengarnya. Dan setelah selesai bercerita, aku bertanya padanya.

Jadi, bagaimana menurutmu?”

Menurutku? Tidak penting pendapatku. Yang paling penting adalah hatimu. Jika kamu merasa nyaman dengan hubungan kalian, aku tidak akan menyuruhmu mengakhirinya, Lin.”

“Aku tak tahu apakah aku merasa nyaman atau tidak. Aku hanya menjalaninya saja, Ka.”

“Kamu sudah tahu apa yang kamukorbankan dalam hubungan kalian?”

“Ya, aku mengorbankan masa depanku. Aku tahu, tak ada masa depan dalam hubungan kami. Aku bahkan tak tahu hubungan ini akan berakhir seperti apa.”

“Kamu yakin dia mencintaimu?”

Sepertinya begitu. Dia bilang dia tak pernah mencintai istrinya.”

“Tapi dia masih bertahan dengan rumah tangganya? Apakah dia menjanjikan untuk meninggalkan keluarganya demi kamu?

Aku hanya menggeleng dan menunduk. Dan sisa malam itu kami habiskan dalam diam sampai Dhika mengantarku pulang ke rumah. Sebelum pulang, dia berkata singkat.

Kamu tahu yang terbaik untuk kamu, Lin

Sejak saat itu aku mulai berpikir ulang mengenai hubunganku dengan Rahmat. Aku makin merasa bersalah pada istrinya. Terngiang-ngiang di telingaku ucapan Dhika malam itu. Aku tahu ini bukanlah yang terbaik untukku. Sebuah perselingkuhan tak pernah membuat keadaan menjadi baik. Perselingkuhan dibangun di atas kebohongan. Dan aku tak mau itu.

Anehnya sejak saat itu Rahmat seakan-akan menjauh dariku. Saat kutanya, dia hanya berkata bahwa dia memberi kesempatan padaku agar makin dekat dengan Dhika dan menjalankan skenario ‘pura-pura pacaran’ itu. Walaupun berkali-kali aku mengatakan bahwa aku tak setuju dengan idenya dan aku tak akan pacaran dengan Dhika, tapi dia tetap menjauhiku.

Akhirnya suatu hari aku mendapatkan jawabannya.

Kita harus menjauh untuk sementara, Lin. Kau tahu, aku segera akan dipromosikan menjadi direktur akhir tahun ini. Dan hubungan kita ini akan membuat promosi itu batal jika ketahuan. Jadi aku mohon pengertianmu, Lin.

Mas, kita sudah lebih dari 5 tahun bersama. Jika memang bisa ketahuan, seharusnya sudah sejak dulu. Namun kenyataannya tidak, kan? Kita bisa menjaganya, mas.

Istriku sudah tahu, Lin. Dia minta cerai kemarin. Katanya ada yang memberitahunya. Entah siapa. Dia tak mau memberitahuku.”

Dulu kamu bilang kamu tak pernah mencintainya. Dan aku tak pernah memintamu meninggalkannya, mas. Namun ini kan dia yang minta cerai. Mungkin ini saatnya kalian berpisah.”

Kamu tahu aku tak mungkin bercerai, Lin. Promosiku pasti akan dibatalkan. Bagaimana pemegang saham akan mempercayakan perusahaannya untuk diatur oleh seseorang yang tak bisa mengatur keluarganya sendiri. Ayolah, Lin. Aku tak akan meninggalkanmu. Aku hanya ingin kita berhenti bertemu dulu di luar kantor untuk sementara.

Seperti biasa hatiku kembali luluh. Aku terlalu mencintainya. Tapi aku mulai menjauh dari Dhika. Aku tak bisa lagi mempercayainya. Pasti dia yang telah diam-diam memberitahu istri Rahmat. Walaupun alasannya demi kebaikan, aku tetap tak bisa mempercayainya lagi. Dia tak berhak ikut campur dalam kehidupanku.

Lama kelamaan Rahmat makin sibuk dan jarang terlihat di kantor. Telepon, SMS, dan BBM pun makin jarang. Sementara aku semakin tersiksa tiap hari dengan rasa rindu yang semakin besar. Kucoba menelepon beberapa kali, namun dia selalu menjawab sedang sibuk dan akan menelepon kembali. Sekalipun dia tak pernah meneleponku kembali.

Dhika beberapa kali mencoba mengajakku berbicara tapi aku selalu menghindar. Sekali aku pernah berkata padanya bahwa aku tidak mau lagi berteman dengannya karena dia sudah merusak hubunganku. Lalu aku menenggelamkan diri ke dalam pekerjaanku yang sebenarnya tidak terlalu banyak. Sampai suatu ketika setelah jam pulang kantor dia menghampiriku, memegang tanganku dan menarikku keluar ruangan. Aku berusaha menolak tapi dia tetap menarikku. Kantor memang sudah mulai sepi. Kebetulan, pikirku. Kerinduanku yang memuncak kini berubah menjadi kemarahan yang maha dahsyat. Dan ini gara-gara Dhika. Aku akan mengikuti apa maunya, nanti aku akan memaki-makinya, ingin melontarkan kekesalanku padanya.

Dhika setengah menyeretku ke arah parkiran motor.

Pakai!” perintahnya sambil menyodorkan helm padaku. Aku menurut sambil tetap bertanya-tanya apa maunya. Lalu dia menghidupkan motornya dan menyuruhku naik ke atas boncengan. Kami menuju ke jalan di belakang kantor tempat aku dulu sering menunggu Rahmat menjemputku. Entah apa maksud Dhika membawaku kesini.

Dhika memarkir motornya di balik tembok yang membatasi kantor dengan deretan ruko di sebelahnya. Dia tetap membisu. Mendadak tubuhku membeku. Kulihat mobil yamg sangat kukenal berjalan melewati kami dan berhenti di depan deretan ruko. Mobil Rahmat. Kulihat jendela terbuka dan seorang gadis yang dari tadi berdiri di depan ruko itu pun masuk ke dalam mobil, dan mereka berlalu.

Dhika menyuruhku naik ke atas motor, lalu kami membuntuti mereka dari kejauhan. Di sebuah restoran besar mobil berhenti dan Rahmat keluar menggandeng mesra tangan gadis itu. Aku masih termangu menyaksikan semuanya. Dhika memandangku iba, lalu menyuruhku naik lagi ke motor, lalu membawaku berlalu dari tempat itu.

Kamu tidak apa-apa, Lin? Dhika bertanya sambil memegang tanganku sesampainya kami di sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan raya itu. Aku hanya terdiam dan memandang nanar cangkir kopi di depanku.

Inilah yang ingin kuperingatkan padamu dulu, Lin. Aku kenal Pak Rahmat. Aku tahu reputasinya. Tapi memang rasanya tak adil jika aku memberitahumu tentang ini sejak awal. Bisa jadi dia sudah berubah. Namun kenyataannya memang tidak. Masalahmu bukan hanya keluarganya, tapi juga kelakuannya. Barusan kamu lihat sendiri kan?”

Aku hanya diam.

Sudah kubilang, Lin, ini bukan urusanku sebenarnya. Aku tak akan cerita ke siapapun. Bahkan ke istrinya sekalipun. Itu hanya alasannya saja untuk pelan-pelan meninggalkanmu. Tapi kamu sudah terlanjur mengira aku yang bercerita ke istrinya

Aku tetap diam. Tapi hatiku sudah mengambil keputusan. Keesokan harinya aku mengambil cuti, lalu mengemasi semua barangku dari apartemen itu, dan menghapus nomornya dari ponselku. Kemudian aku menyelipkan kunci apartemen itu di mejanya saat istirahat makan siang, dan menutup ceritaku dengannya. Hatiku sangat mencintainya hingga rasanya sangat menyakitkan untuk mengakhiri semua ini, namun aku tahu akan lebih sakit lagi kelak jika aku bertahan. Biarlah waktu yang akan menyembuhkannya.

Aku masih memandang jendela. Mendung masih menggantung. Hujan akan segera turun. Perasaanku memang masih bingung. Aku pasti kehujanan. Tapi sisi hatiku yang lain jauh lebih tenang. Sekarang aku tak perlu lagi pulang malam. Dan aku punya lebih banyak waktu dengan teman-teman dan ibuku.

Hai, Lin. Pulang bareng yuk.” Suara Dhika memecah lamunanku. Entah kenapa hatiku mulai menghangat.

*kisah nyata inu ditulis sesuai janji kepada seorang teman yang menjadi tokoh utamanya. Pesan gue, “told ya :p

6 comments

      1. Ditunggu traktirannya ε(◦ʃ⌣ƪ◦)з
        Ciluuk.. (ʃ⌣ƪ) – Baaa! ƪ(°͡▿▿▿▿▿°”)͡ƪ

        Like

  1. dude, u’r so talented…. it feels like u wrote with full heart and emotion. look forward to your other writings…

    Like

Leave a comment