Anak Dalam Mimpi


Anak Dalam Mimpi
(written: Sunday, April 1, 2012)

Anak perempuan itu berlari ketakutan sambil sesekali menoleh ke belakang. Napasnya memburu. Wajahnya sudah basah oleh keringat dan airmata. Lorong-lorong panjang itu terasa begitu gelap dan menakutkan. Mendadak larinya terhenti. Tubuhnya terlempar ketika menabrak sesuatu. Sesosok tubuh tinggi besar berdiri di hadapannya. Laki-laki berkulit legam dengan wajah menyeramkan. Lalu laki-laki itu mengulurkan tangannya dan menarik tangan anak itu. Anak itu menjerit, menoleh ke arahku, dan memandangku dengan pandangan memelas seolah meminta pertolongan….

Aku terlonjak bangun. Badanku basah oleh keringat. Mimpi itu lagi. Sudah 3 kali mimpi itu kualami. Tempat yang sama. Orang yang sama. Kejadian yang sama. Persis.

“Ah, kamu terlalu larut dalam novel yang sedang kamu buat”

Andre, pacarku, selalu mengatakan itu tiap kali aku bercerita padanya. Aku memang sedang membuat novel dengan latar belakang kisah anak jalanan. Dan harus kuakui aku memang benar-benar larut dalam novelku itu. Namun pembuatan novel ini sudah berjalan hampir satu tahun. Dan mimpi buruk itu baru datang minggu-minggu terakhir ini. Entahlah.

Ide awal novelku memang tidak jelas datang dari mana. Tiba-tiba saja setahun lalu aku punya pikiran aneh tentang anak-anak jalanan. Dan seperti ada yang menyuruh, aku langsung berniat membuat novel tentangnya. Bersama Andre, riset sederhana sudah kulakukan dengan bantuan beberapa teman yang kebetulan terlibat dalam LSM yang membina anak jalanan. Dan akhirnya novel mulai kutulis. Memang sudah terlalu lama. Maklumlah aku juga bekerja pada sebuah perusahaan multinasional, sehingga kesibukan seperti menyita waktuku. Dan terpaksa waktu untuk penulisan novel itu harus dikorbankan.

Aku bukan seorang yang percaya pada hal-hal di luar nalar manusia. Namun mimpi yang sama persis yang terjadi 3 kali itu mau tidak mau membuatku berpikir ulang. Aku merasa ada yang ingin disampaikan oleh anak dalam mimpi itu padaku. Entahlah. Yang jelas hatiku tergerak untuk mencari tahu.

Aku mulai menghubungi teman-temanku yang bekerja di LSM itu. Membuat janji untuk hadir pada sesi pengajaran yang diberikan tiap akhir pekan. Aku benar-benar ingin bertemu dengan anak dalam mimpiku itu. Aku yakin pasti dia ada di kota ini. Dan aku ingin bertemu dengannya.

Setelah aku mengikuti beberapa sesi pengajaran, aku tak juga berhasil bertemu dengan anak itu. Dan aku mulai putus asa. Namun dalam perjalanan pulang dari sesi pengajaran terakhir bulan ini, aku dikejutkan oleh sebuah pertemuan. Bukan, bukan dengan anak itu. Melainkan dengan laki-laki tinggi besar berkulit legam dengan wajah menyeramkan itu. Tepatnya, dia adalah sopir taksi yang kutumpangi.

Walaupun bertubuh tinggi besar dan berwajah menyeramkan, namun suaranya lembut dan sikapnya ramah. Meskipun begitu, semua syaraf di tubuhku menegang saat aku mencoba membangun percakapan dengannya. Aku semakin yakin bahwa mimpiku itu bukan sekedar mimpi biasa. Buktinya, laki-laki ini memang benar-benar ada. Kulihat namanya di dashboard mobil. Sunarto. Hmmm terlalu umum.

Percakapan kumulai dengan basa basi menanyakan apakah dia sudah lama jadi sopir taksi. Ternyata sudah hampir 8 tahun. Lalu kutanyakan asalnya. Katanya dari sebuah kota kecil di Jawa Timur. Dan lama kelamaan cerita mengalir deras dari mulutnya.

Dia pindah ke Jakarta beberapa tahun yang lalu bersama keluarganya. Kemiskinan di kampung membuatnya terpaksa meninggalkan kehidupan di sana dan memulai hidup di Jakarta. Memang sulit, karena bekal pendidikan dan keahliannya sangat kurang, sehingga mereka terpaksa harus hidup dengan kondisi serba kekurangan. Bahkan berbulan-bulan mereka terpaksa hidup di jalanan. Karena tidak kuat akhirnya istrinya pergi meninggalkannya bersama anaknya setahun kemudian. Sejak saat itu dia terpaksa harus menitipkan anaknya ke istri temannya setiap kali pergi mencari uang.

Anaknya tumbuh di jalanan dan terpaksa terlepas dari pengawasannya. Dan saat dia akhirnya mendapat pekerjaan tetap sebagai sopir taksi, rasanya sudah terlambat untuk menarik kembali anaknya dari jalanan. Gadis kecil itu sudah terlanjur lekat dengan kehidupan jalanan. Mengamen dan mengemis sudah jadi pekerjaannya sehari-hari. Berkali-kali dia mencoba untuk memaksa anaknya sekolah namun berkali-kali juga anaknya kabur dan kembali ke jalanan berkumpul bersama teman-temannya.

Saat aku mendengar itu, aku semakin tertarik karena merasa aku makin mendekati gadis di mimpiku itu. Namun Bapak itu malah terdiam. Dan sialnya taksi sudah sampai di depan rumahku. Aku memintanya untuk menjemputku besok pagi dan dia menyanggupinya.

Keesokan paginya sopir taksi itu tak kunjung datang dan aku akhirnya memanggil taksi lain agar tak terlambat sampai di kantor. Aku merasa pusat informasiku semakin menjauh dan tak tahu bagaimana menemukannya lagi. Aku yang bodoh, lupa mencatat nomor taksinya. Aku mencoba menghubungi beberapa kenalanku yang berhubungan dengan perusahaan taksi itu dan menanyakan jika ada sopir yang bernama Sunarto. Namun hasilnya masih nihil. Sementara mimpi itu masih datang.

Sampai akhirnya beberapa minggu kemudian, saat aku sedang menunggu Andre datang menjemput, aku melihatnya lagi sedang berhenti dan makan siomay di depan kantorku. Segera aku memanggilnya, tepat saat motor Andre memasuki halaman kantor. Aku segera menyuruh Andre untuk memarkir motornya di kantorku dan menariknya memasuki taksi. Sopir taksi itu melirik sepintas ke arah Andre dan mulai menjalankan taksi.

Namun sayangnya tidak ada lagi cerita yang bisa kukorek. Andre mengajakku berbicara sepanjang jalan. Sampai akhirnya aku mendapat ide bagus. Dengan seribu satu alasan aku berhasil menawarkan untuk mengantar Andre pulang dulu, sehingga di sisa perjalanan pulang ke rumahku aku masih bisa mencari tambahan informasi tentang gadis kecil yang kuduga anaknya itu.

Ternyata dugaanku salah. Sopir taksi itu tetap terdiam dan cenderung tidak mau menjawab pertanyaanku sepanjang jalan pulang. Jawaban yang diberikan hanya anggukan atau gelengan kepala saja. Sampai akhirnya aku sampai di rumah. Kali ini aku tak lupa mencatat nomor taksinya. Siapa tahu hari ini dia lelah dan mungkin lain kali dia akan lebih ramah menjawab pertanyaanku.

Tengah malam teleponku berdering berkali-kali. Dari temanku. Dengan malas aku mengangkatnya. Kudengar teriakan-teriakan tak jelas di ujung telepon. Lamat-lamat aku menangkap ucapan panik bercampur isak tangis. Aku melonjak kaget. Andre baru saja dilarikan ke rumah sakit. Katanya ada perampok masuk ke kamarnya dan menyiksanya habis-habisan. Secepat kilat aku berpakaian, berlari keluar rumah, menyetop taksi dan menyusul ke rumah sakit.

Saat tiba di rumah sakit, aku hanya melihat wajah-wajah penuh duka menyambutku disana. Aku terlambat. Andre sudah meninggal dengan tubuh penuh luka tusukan. Kesedihan menyelimutiku. Namun aku hanya bisa menangis tanpa suara.

Keesokan harinya saat pemakaman, temanku memberitahu bahwa pelakunya sudah tertangkap. Aku tak peduli. Yang kurasakan hanya kekosongan yang seperti tiada akhir. Namun saat di perjalanan pulang, temanku itu menunjukkan foto pelakunya seperti yang ditunjukkan oleh polisi kepadanya. Pak Sunarto, sopir taksi itu. Jadi dia yang membunuh Andre. Aku harus menemuinya. Tiba-tiba aku merasa aneh. Aku merasa semua ini terkait. Mimpiku, sopir taksi itu, dan kematian Andre.

Aku memaksa temanku untuk mengantarku ke kantor polisi, tempat dimana orang itu ditahan untuk sementara. Dan dengan membayar sejumlah uang, akhirnya aku diijinkan untuk menemuinya. Saat aku melihatnya, tak tampak penyesalan di wajahnya. Bahkan anehnya, wajahnya terlihat cerah dan jauh dari kesan menyeramkan seperti biasanya. Lalu aku duduk di hadapannya.

Kudengar dia mulai bercerita.

Dia layak menerimanya. Dan itu pembayaran yang setimpal untuknya. Sekarang saya sudah lega. Hutang sudah terbayar lunas. Kamu ingat cerita saya tempo hari tentang anak perempuan saya? Namanya Rini. Memang dia bandel dan tidak mau sekolah. Namun itu bukan salahnya. Itu salah saya. Saya yang membiarkan dia tumbuh di jalanan hingga sebesar itu. Namun dia tetap anak saya. Saya sayang padanya. Setahun yang lalu saya kehilangan dia. Seorang laki-laki bejat telah memperkosanya dengan brutal dan membunuhnya. Berbulan-bulan saya mencarinya hanya dengan bermodal keterangan dari teman-teman anak saya, dan nomor polisi sebuah motor. Saya tidak mau menyerahkan urusan ini pada polisi. Saya mau menghukum laki-laki itu dengan tangan saya sendiri. Lagipula, polisi tak akan mau membantu orang kecil seperti kami. Dan malam itu saat saya melihat kamu berbicara dengan laki-laki yang memiliki ciri-ciri yang sama dan motor dengan nomor polisi yang sama, saya tahu saya telah menemukannya. Saya mengingat letak rumahnya. Malamnya saya kembali untuk menanyakan padanya mengenai anak saya. Dia mengaku. Dan saya menghukumnya. Adil, bukan?

Aku duduk membeku di hadapannya. Jadi inilah arti mimpi itu. Rini, gadis kecil itu, telah menuntun ayahnya untuk menemukan pembunuhnya. Melalui aku. Aku telah membantu ayahnya membunuh Andre. Lalu mendadak semua menjadi gelap…..

2 comments

Leave a comment