Hujan, Kopi, Pisang Goreng, Infotainment, Berita Politik, Kartun dan Kita


Hujan, Kopi, Pisang Goreng, Infotainment, Berita Politik, Kartun dan Kita
(written: Friday, January 13, 2012)

Langit kembali gelap. Sebentar lagi tanah akan segera basah. Seperti biasa, saat-saat seperti ini aku selalu terkenang akan dirimu, sayang. Aku tak pernah bisa melupakanmu.

Dingin memang. Tapi lebih dingin rasa hatiku. Dulu biasanya kita berdua berebutan segelas kopi yang kau buat. Dan kita lebih senang seperti itu. Kita tak pernah membuat lagi gelas yang kedua. Katamu kopi itu lebih enak kalau cuma segelas. Kataku kamu cuma malas membuatnya lagi. Dan akhirnya kita selalu sepakat bahwa segelas itu mampu menciptakan kehangatan. Aaahh…

Dan tukang gorengan di ujung gang itu sudah jadi sahabat kita. Dia selalu tahu apa kesukaan kita saat hujan begini. Iya, pisang goreng. Dan kita tak pernah kehabisan. Dia selalu menyisihkan untuk kita. Aku selalu ingat kata-katanya, kita adalah pasangan paling menyenangkan yang pernah dikenalnya. Bahagia mendengarnya.

Oya, kau suka sekali infotainment. Sementara aku suka sekali berita politik. Dan ini membuat kita berebut remote control televisi tiap hari. Katamu hidup sudah rumit, tak perlu ditambah dengan berita politik yang bikin tambah pusing. Kataku infotainment sama sekali tidak penting, hanya mengurusi hidup orang lain saja. Dan hampir selalu kita berdamai dengan menonton film kartun. Hey, diam-diam aku pernah memergokimu menonton berita juga, dan walaupun tak pernah bilang, aku juga sesekali menonton infotainment.

Aku tahu kau sedang bahagia dengan kekasih barumu sekarang. Sementara aku tersiksa sendiri disini melihatmu. Bukan salahmu. Salahku. Aku yang meninggalkanmu saat itu. Aku mengejar bayangan yang selalu menghantuiku sejak dulu. Mimpi-mimpiku yang katamu absurd. Keinginan yang tak masuk akal. Ekspedisi ke pedalaman Afrika. Kau selalu heran mendengarnya. Katamu aku mengejar kebahagiaan semu dengan meninggalkan kebahagiaan yang sudah kumiliki. Kau.

Tapi aku tetap pergi. Aku ingat saat aku menatapmu di depan rumah. Tangisanmu tak bisa menahanku waktu itu. Aku tahu, aku telah berjanji untuk kelak kembali kesini bersamamu. Dan kau juga tahu aku tak pernah mengingkari janjiku. Tapi kau juga tahu aku tak mungkin kembali. Ekspedisi itupun tak pernah kulakukan. Pesawat naas itu jatuh saat lepas landas. Kau tahu, wajahmu yang terbayang di mataku di saat-saat terakhirku.

Hujan sudah turun. Dan tanah ini, rumahku, sudah basah. Kulihat ada dua gelas kopi di mejamu. Untukmu dan kekasihmu. Tak ada pisang goreng disana. Namun wajahmu terlihat bahagia. Ah, aku semakin rindu padamu.

3 comments

Leave a comment